Deden Dendayasa |
Pertanyaannya, apakah tabiat dari seorang Deden Dendayasa
(selanjutnya kita sebut Bung DD saja) seindah dan se-musical namanya? Mungkin akan ada jawaban ya dan tidak, tergantung
seberapa dalam orang mengenal beliau dan seberapa jauh penghayatan seseorang
terhadap keindahan hidup. Saya pun tidak akan menjawab secara lugas dengan jawaban
ya dan tidak, saya hanya akan menjawab melalui beberapa ulasan dan diskripsi
berikut.
Saya tidak tahu latar belakang kehidupan Bung DD, dia lahir
dimana, bapaknya siapa dan apakah dia berasal dari golongan ningrat atau
golongan cacah biasa saja seperti saya. Namun saya berani bertaruh, orang
tuanya terutama bapaknya, nampaknya mempunyai selera tentang keindahan hidup
yang lumayan tinggi. Dengan menamakan anaknya Deden Dendayasa, sepertinya
bapaknya itu mempunyai minat terhadap seni budaya bahkan beliau mendudukannya
pada maqam yang terhormat. Orang
seperti ini bila mendalami agama, umumnya tidak akan berdebat berkepanjangan
masalah fiqih, tetapi mereka akan sangat bergairah dengan masalah spiritualitas
dan tasauf.
Ah, saya kok jadi ngelantur membahas bapaknya Bung DD, padahal
belum tentu juga beliau seperti itu, toh saya samasekali tidak mengenalnya dan
hanya mengira-ngira saja. Tetapi sesungguhnya tidak salah juga bila kita ingin
memotret seseorang dengan merujuk pada nasabnya. Saya termasuk yang percaya
bahwa ada banyak hal dalam diri atau tubuh kita, baik yang berupa hardware maupun software, bersifat genetik, diturunkan dari orang tua.
Banyak orang mengenal Bung DD dengan perawakannya yang kurus kerempeng
sebagai seorang perokok ulung. Ajaibnya, kegemarannya dalam menghisap rokok
tidak lantas membuat tubuhnya menjadi sakit-sakitan. Selama saya kenal lebih
dari sepuluh tahun tak pernah saya melihat dia mengalami sakit yang cukup merepotkan. Tapi
bukan berarti bahwa saya percaya rokok tidak berdampak buruk bagi kesehatan.
Dalam hal ini saya sami’na wa atho’na
dengan warning dari Kementerian
Kesehatan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Saya sendiri sudah berhenti
merokok sejak lima tahun lalu dengan pertimbangan lebih banyak madarat
ketimbang manfaatnya.
Lalu kenapa si tubuh kurus kerempeng dengan rokok yang tak
pernah berhenti mengepul itu tetap menunjukkan vitalitas dirinya? Mungkin
jawabannya terletak pada semangat dan cara dia memandang hidup.
Bukan bermaksud sombong bahwa dari pertama saya menjadi PNS
Pemda Kota Sukabumi tahun 2003, sebelum apel pagi saya relatif selalu sudah berada
di kantor. Rata-rata pukul tujuh lewat sepuluh menit saya sudah tiba di pintu belakang
Kantor Pemda Jalan Dewi Sartika. Demikian halnya dengan pulang kantor rata-rata
jam empat sore kurang sedikit saya pulang, tapi ada kalanya juga pulang jam lima
atau setengah enam sore. Namun hebatnya, masalah jam kantor ini saya selalu “kalah
bersaing” dengan Bung DD. Bila saya datang pagi-pagi, Mobil Suzuki Carry Biru
dengan tagline JEKREM yang mencolok, pasti sudah nongkrong di belakang Kantin
Pemda. Demikian halnya sewaktu pulang kerja, betapapun saya pulang setengah
enam sore, Mobil JEKREM pasti masih setia menunggu tuannya di area parkir
Pemda. Konsistensi dalam bekerja ini tetap berlangsung hingga hari ini,
detik-detik menjelang dia pensiun tanggal 1 Mei 2016 nanti.
Inilah makna semangat hidup yang dihayati Bung DD, semangat
mengabdi pada Tuhan dan bekerja untuk memuliakan sesama manusia dan
lingkungannya. Saya tidak percaya semangat dan disiplin dia dalam bekerja
termotivasi oleh pujian atasan atau dalam rangka meraih jabatan. Apa yang dia
harapkan, toh dia beberapa hari lagi pensiun? Kenapa mesti harus semangat
bekerja? Bagi orang yang berpikiran jangka pendek dan jangka menengah perilaku
Bung DD yang selalu semangat bekerja mungkin suatu kesia-siaan belaka karena
tak akan berefek apapun pada materi. Tapi manusia jangka panjang seperti Bung DD
ukurannya tidak semata-mata materi tapi integritas, baik kepada pimpinan,
institusi maupun masyarakat. Lebih dari itu dia ingin mempertanggung jawabkan
apa yang dia dapatkan baik berupa gaji, kesehatan, fasilitas dan seluruh
karunia yang tak terbilang kepada Tuhan.
Di luar kebiasaan dia merokok, vitalitas hidup dan disiplin
bekerja, saya melihat Bung DD sebagai sosok yang haus ilmu, terutama ilmu
agama. Maka tidak heran, bagi dia menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah terbaik
menjadi prioritas utama, bahkan si sulung telah menyelesaikan sekolahnya di
Universitas Al-Azhar Mesir, salah satu universitas tertua dan prestisius di
kalangan dunia Islam.
Sebagai seorang yang tak henti belajar, dia akan terus
menerus bertanya dan berkomentar kritis khas seorang mahasiswa tentang berbagai
persoalan, terutama yang berhubungan dengan perilaku keagamaan. Bak seorang
filsuf atau seorang sufi, persoalan yang sesungguhnya sederhana, dia kupas
secara mendalam bahkan bisa melebar kemana-mana yang bagi sebagian orang akan terasa
sangat membosankan. Dari beberapa obrolan di sela-sela pekerjaan kantor atau
selepas shalat Dzuhur berjamaah di Masjid Al-Ikhlas Pemda, saya menangkap bahwa
Bung DD sangat concern dengan ilmu
kalam atau tauhid. Meskipun hanya obrolan ringan, bila sudah menyangkut tauhid
maka sorot mata dan tekanan nada bicara akan berubah serius. Supaya obrolan tidak
semakin berat, biasanya saya mengalihkan ke topik yang lain, atau kadang-kadang
dia sendiri menurunkan tensi obrolannya agar menjadi ringan.
Sebagai seorang yang gemar mengobrol, pergaulan dia meretas
panjang dari mulai kalangan pejabat, staf pemda, tokoh LSM hingga kalangan
wartawan dan semuanya berkawan baik tanpa menghilangkan eksistensi dirinya
sebagai salah satu Kepala Seksi di Kantor Kominfo.
Sebentar lagi sosok kurus kerempeng yang selalu tidak
terlepas dari rokok itu, tidak akan lagi berlalu lalang di area Pemda Kota
Sukabumi. Bagi orang yang suka shalat berjamaah Dzuhur atau Ashar di masjid
Al-Ikhlas Pemda, maka akan kehilangan sosok ini. Dengan peci yang agak nyengsol, sehabis salam-salaman sesama
Jemaah biasanya dia akan mengambil tempat di sudut belakang masjid untuk terus
melanjutkan wiridan dan melantunkan puji-pujian kepada Tuhan. Dengan tubuh yang
agak membungkuk dan khusu’ terlihat dia sedang “berdialog” dengan Tuhan, atau
mungkin sedang melafalkan do’a-do’a yang saya sendiri tidak tahu apa isi do’anya.
Selamat memasuki dunia pensiun Bung Deden Dendayasa, selamat
menikmati hidup. Dunia begitu luas dan amatlah indah, nikmat Tuhan bertebaran
di setiap sudut semesta. Saya akan sangat kecewa bila orang seperti anda
mengalami post power syndrome. Saya
yakin, bila suatu saat kita bertemu, anda akan berwajah cerah, tetap
bersemangat dan tertawa lebar, mungkin masih ditemani sebatang rokok. Namun bila
saat bertemu itu anda terlihat seperti sedang meratapi nasib, maka saran saya
berhentilah mendalami spiritualitas dan tasauf, dan tanggalkanlah nama Deden Dendayasa,
karena nama itu terlalu indah bagi seseorang yang kerjanya hanya meratapi
nasib.
Sukabumi, 27 April 2016.