| |
Oleh : Ulya Hikmah, SP. Lc. "Jika kejujuran tertegak di muka bumi pasti amanlah dunia ini." Suatu ketika Sayyidina Umar berjalan di tengah padang pasir yang tandus, dari kejauhan ia melihat seorang anak kecil sedang menggembala kambing milik tuannya. Umar bergerak mendekati anak tersebut, tanpa diminta anak kecil itu memberikan susu kambing kepada Sayyidina Umar. Lalu Umar bertanya: "Apakah kambing-kambing ini milikmu? Si anak menjawab: "Bukan tuan! Semua ini milik tuanku, aku hanya ditugaskan untuk menggembalakannya saja dan memberikan susunya kepada musafir yang kehausan." Akan tetapi Umar ingin menguji kejujuran anak kecil tersebut dengan menawarkan: "Apakah kamu mau aku tukar kambing-kambing ini dengan sejumlah uang dan engkau katakan saja kepada tuanmu bahwa kambing-kambingnya telah hilang." Namun Sayyidina Umar begitu terkejut bahkan sampai menangis ketika mendengar jawaban si anak: "Wahai tuan! Aku bisa saja menipu tuanku, namun apakah aku bisa menipu Tuhannya tuanku, Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui." Sepenggal kisah di atas kiranya dapat mengukur kadar kejujuran kita sampai sejauh mana, logikanya amat mudah bagi anak kecil tersebut untuk berbohong dan mengambil keuntungan yang besar dari ketidak jujuran, sebagaimana yang kita ketahui bahwa seorang anak amat mudah diiming-imingi. Akan tetapi anak kecil tersebut sekali lagi mengajarkan kita bahwa hakikat kejujuran bermula dari kenal dan rasa takutnya seorang hamba kepada Tuhannya, bermuara dari niat dan hati yang tulus maka akan teraplikasi dalam perkataan dan perbuatan. Pada dasarnya kita diperintahkan untuk jujur dalam semua lini kehidupan baik lisan (perkataan) maupun perbuatan, meskipun ada keadaan-keadaan tertentu yang dibolehkan untuk berbohong, karena kejujuran akan berorientasi kepada kebaikan dan surga, sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw: "Sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa menuju surga, sementara kebohongan akan membawa kepada keburukan dan keburukan kembali ke neraka." (Muttafaqun ‘alaih). Seiring perubahan zaman, kejujuran menjadi barang yang sangat langka dan mahal sekali harganya, seperti kata pepatah: "Jujur maka akan mujur." Dan sekarang terbalik menjadi: "Jujur maka akan terbujur." Kejujuran hanya akan membawa petaka dalam kehidupan seseorang, aneh memang namun itulah fakta yang demikian pahit yang harus kita telan. Prioritas kejujuran semakin pudar dan terabaikan, yang berbuat jujur malah menjadi terdakwa sedangkan yang berbohong malah diagung-agungkan dan dibela. Banyak sekali praktek ketidak jujuran di negeri ini bahkan susah buat kita untuk percaya dengan individu tertentu dari tingkat bawah sampai level tertinggi. Sebenarnya tidak jujur atau berdusta merupakan salah satu kriteria orang munafik, Rasulullah saw sudah memberikan beberapa signal untuk diwaspadai yaitu: "Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Apabila berkata , ia berdusta. Apabila berjanji, ia berkhianat. Apabila diberi amanah, ia menyalahi." (HR. Bukhari). Bagi orang-orang yang munafik Allah memberikan balasan dengan memasukkan mereka kedalam neraka yang paling bawah dan itu adalah menjadi tempat kembali mereka di akhirat nanti. Sekarang ini mencari seorang tauladan yang memiliki kejujuran seperti mencari oase di tengah padang pasir yang tandus, seiring dengan semakin canggihnya zaman maka semua bisa dimanipulasi dan sangat bisa dikamuflase, kalau pun ada seseorang yang jujur maka tunggulah ajalnya sudah dekat, banyak sekali yang memusuhi dan berusaha untuk memusnahkannya, begitu merananya kejujuran itu, padahal Allah SWT mencintai orang-orang yang berlaku jujur. Lalu cinta siapa lagi yang kita harapkan bila sudah mendapatkan cinta pemilik langit dan bumi. Allah SWT menyayangi hambanya dengan mengirimkan seorang Rasul sebagai tauladan kejujuran, Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi rasul sudah mendapatkan gelar al-Amin (orang yang dipercaya), beliau adalah suri tauladan tidak hanya pada aspek kejujuran namun semua aspek kehidupan. Demikian juga para nabi sebelumnya, mereka adalah orang-orang yang jujur dan benar, Allah SWT telah memuliakan mereka dengan sifat Siddiq. "Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi."(QS. Maryam: 54) Sa’id Hawa mengatakan dalam bukunya Tazkiyatul Anfus bahwa ada enam komponen yang mengharuskan kita untuk berlaku jujur, yaitu: jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur dalam tekad, jujur dalam menepati janji dengan tekad akan memenuhi janji itu dengan sungguh-sungguh, jujur dalam perbuatan, dan yang terakhir adalah jujur dalam menegakkan nilai-nilai agama secara keseluruhannya. Barang siapa yang memenuhi keenam komponen tersebut atau sebagiannya, maka ia termasuk orang yang jujur. Jujur yang berkaitan erat dengan lisan sering kita jumpai di masyarakat, mudahnya seseorang mengobral janji, namun pada faktanya amat sulit menepati, selalu mengulur waktu dan akhirnya hanya menjadi angin lalu seolah tidak pernah berjanji. Dalam hal ini Rasulullah saw juga pernah mengatakan: "Barang Siapa yang dapat menjaga lisannya dan kemaluannya maka aku jamin ia akan masuk surga." Ibnu Abbas juga berkata: "Ada empat perkara yang akan membawa keberuntungan, jujur, rasa malu, akhlak yang baik dan pandai bersyukur." Efek kejujuran pasti akan membawa kepada nuansa-nuansa kebaikan, keihklasan dan qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), sekaligus kebencian. Orang yang tamak akan dunia ini pasti akan membenci kejujuran, semestinya bumi ini cukup untuk keperluan manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk ketamakan manusia. Berdusta demi kepentingan pribadi dan tertentu terlebih lagi untuk memperkaya diri sendiri jelas dilarang, Allah SWT berfirman: "Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat Dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri." (QS. Az-Zumar : 60) Sebaliknya orang yang jujur tidak begitu perduli dengan kemewahan dunia dan segala isinya, kejujuran akan terpancar dari keimanan seseorang yang yakin bahwa semua akan berakhir dan akhirat jualah yang kekal. Allah SWT berfirman: "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)." (QS. Al-Ahzab : 23) Islam adalah agama yang indah selalu mengajarkan ummatnya untuk berbuat baik dan membersihkan diri dari kekotoran baik zahir maupun batin, bukankah sejarah Islam telah mengukir nama-nama mereka yang menjadikan kejujuran sebagai filsapat hidup dan dengan kejujuran itu pula orang-orang kafir menjadi terpesona. Wallahu A’lam bis showab… Penulis adalah: Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah Wal Arabiyah Jurusan Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Cairo Mesir dan Staff pengajar Yayasan Islam Haji Masri Darul Ilmi Murni Namorambe. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar