Pages - Menu

Senin, 09 Desember 2013

Internalisasi Semangat Hijrah Oleh H. Ahmad Dzaki, MA



Sukabumi,

HIJRAH secara bahasa berarti “tarku” [meninggalkan]. Dikatakan hijrh ila syai. Berarti ‘intiqal ilaihi’ an ghairihi berpindah dari suatu kepada suatu. Sedangkan secara istilah hijrah berarti ‘tarku man nahallaa’anhu”:  meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

   Sementara Rasulullah Sholallohu  ‘Alaihi Wasallam  bersabda “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” [HR. Bukhari].   
  
                Dengan demikian, hijrah secara maknawi akan terus relevan sampai kapan pun. Nilai dan semangat hijrah haus kita baa dalam kehidupan modern ini. Kita berhijrah dari kejahiliyahan menuju Islam. Hijrah dari kebathilan menuju al-haq. Hijrah dari nifaq menuju istiqomah. Hijrah dari maksiat menuju ta’at. Dan hijrah dari yang haram menuju yang halal.

                Dalam hijrah terkandung tiga [3] dimensi nilai untuk kita internalisasikan dalam kehidupan modern ini.
                Pertama: Dimensi personal, bahwa setiap mukmin harus selalu lebih baik kualitas keimanannya dari hari kemarin. Maka kita berhijrah dari kualitas saat ini menuju kualitas yang lebih baik. Kita haus memperbaiki diri atau Aslahul fardi. Hingga mencapai kualitas pribadi muslim [syakhshiyah Islamiyahj]. Kita terus berupaya agar menjalankan Islam secara kaffah, secara komprehensif.

                “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kalian ikut langkah-langkah syaitan, karena syaitan itu musuh yang nyata bagimu” [QS. Al- Baqarah: 208].   
                Kedua dimensi social: Bahwa seorang mukmin harus memperbaiki lingkungan sosialnya. Ia perlu menghijrahklan keluarga dan tetangganya hingga mencapai karakteristik komunitas Islam  [Sya’biyah Islamiyah]  Mungkin dalam kontek sekarang kita tidak perlu pindah ke kota lain, tetapi bagaimana menghijrahkan kota atau daerah kita menjadi lebih baik. 

Dimensi social juga berarti menata diri kita untuk menjadi bermanfaat secara social. Memiliki kesadaran berkontribusi [wa’ yul intaji]
Ketiga dimensi dakwah: Sebagaimana dakwah ke Medinah, adalah dalam kerangka pemenangan dakwah dari satu marhalah ke marhalah berikutnya. Pembentukan basis social dan pendirian kepemimpinan Islam, maka semangat hijrah dimasa kini harus juga berdimensi dakwah.
Kita terpanggil untuk menebarkan Islam. Menguatkan nilai-nilai kebaikan dan mendukung dakwah Islam, agar terwujud masyarakat yang Islami dan negeri yang baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur. Hingga Islam menjadi ustadziyatul alam [soko guru peradaban]. 

                Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, sesungguhnya dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari masa kini. Hijrah Rasulullah tersebut hijrah Insaniyah . Sebagai transformasi nilai-nilai kemanusiaan. 

                Perubahan paradigma masyarakat  Arab setelah kedatangan Islam dan pola pikir mereka menunjukan betapa sisi-sisi kemanusiaan dijadikan materi utama dakwahRasulullah SAW. Bahwa manusia tidak boleh menjadi budak yang lainnya. Itulah inti kalimah syahadat “”Bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah.

                Pernyataan syahadat ini secara langsung mengeliminir segala macam perbudakan dan penguasaan atas seseorang. Dan inilah yang paling ditakutkan  oleh para bangsawan Mekkah. Seperti Abu Jahal pada waktu itu. Karena misi kemanusiaan ini dapat merobohkan dominasi mereka atas para budak belian. Dengan demikian  sungguh Islam telah meletakan  sebuah ponmdasi tata nilai kemanusiaan. 

Sebagaimana dengan tegas disampaikan Rasulullah Shollallohu’ Alaihi Wasallam dalam khutbahnya ketika haji Wada. “Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram atas kamu” [HR. Bukhari dan Muslim].   

                Kemudian kita harus memaknai momentum hijrah ini, sebagai hijrah Tsaqaffiyah. Yaitu hijrah kebudayaan. Hijrah dari kebudayaan Jahiliyyah menuju kebudayaan Madaniyah. Kebudayaan yang sarat dengan makna dan kemuliaan, sebagaimana diperlihatkan oleh Rasulullah dalam tata krama keseharian. 

Dalam pergaulannya, beliau menghargai dan menggauli semua orang dengan cara yang sama tanpa ada perbedaan. Bahkan lebih dari itu, beliau selalu bertindak sopan dan ramah kepada semua orang, tak pernah pandang bulu. 

                Pernah pula Beliau bersabda: Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq
                Inilah sejatinya fondasi kebudayaan dalam kacamata Islam, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan. Termasuk didalamnya adalah kebersamaan , gotong royong dan kesetiakawanan. Inilah nilai-nilai yang kini mulai lenyap dari kehidupan kita, digantikan dengan individualisme dan kafitalisme.

                Selanjutnya kita harus memaknai hijrah sebagai hijrah Islamiyah . Yaitu peralihan kepasrahan kepada Allah secara total.   Momentum hijrah ini harus kita maknai sebagai upaya peralihan diri menuju kepasrahan total kepada Allah Yang Maha Kuasa.   

                Artinya setelah modernisme  menggiring kita kearah rasionalisme yang tinggi, hingga menyandarkan kehidupan kepada teknologi. Dan mengandalkan struktur sebuah system.Maka kini  saatnya  kita berbalik kepada Allah Yang Maha Pencipta.

                Itulah semangat dan nilai hijrah yang harus kita internalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengamalkan semangat dan nilai hijrah. Kehidupan kita akan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Semoga kita termasuk dalam hamba-hamba Allah yang beruntung. Amin ya rabbal alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar