CERPEN
Perjalanan
Ghaib Dendi
Oleh
Winni Siti Alawiah,SPd
guru GO Sukabumi
Sehabis shalat magrib Dendi pria
berusia 24 tahun yang bekerja sebagai tengkulak sayur di pasar berencana pergi
ke rumah kakak perempuannya di daerah Baros yang baru saja dijadikan perumahan
besar. Dilipatnya sarung bergaris hijau tua yang sudah lusuh lalu dimasukan
kedalam tas canklong berukuran duapuluh kali enambelas senti itu.
Di luar mesjid sudah berjejer angkot
berwarna biru langit yang siap membawanya ke rumah kakak perempuannya. “perum
mang?” tanya Dendi kepada supir angkot. “iya, tapi hanya sampai sektor mas.
Sudah jam setengah tujuh, angkot tidak bisa masuk. Kalau mau naik ojek saja,”
jelas supir setengah baya itu tanpa membalikan wajanya kearah Dendi.
Dendi memeriksa uang disaku kanan dan
kirinya, tidak ada uang sepeserpun. Dia ingat bahwa sayurannya tadi ada yang
terjual walaupun hanya tiga ikat kangkung yang seharga tiga ribu rupiah.
Diambilnya uang itu di dalam tasnya. Uangnya hanya cukup untuk membayar angkot.
Dipersimpangan Dendi turun dari
angkot beberapa tukang ojek menghampirinya menawarkan jasa antarnya. Berjalan
kaki keputusan yang diambilnya karena tidak ada uang lagi di dalam tasnya.
Cakrawala memancarkan sinar kemerahannya dari barat, ketika lelaki yang
bertubuh kurus dibalut kaos abu-abu yang mulai lusuh itu mulai berjalan
melewati rumah-rumah kosong yang baru saja dibangun.
Dulu, Deni bertubuh tegap dan gagah.
Kini kulitnya sawo matang mungkin disebabkan pekerjaannya sebegai tengkulak
sayur yang harus siap beradu dengan sinar matahari setiap harinya. Kumisnyapun
lebat, liar tidak terurus, wajahnya sedikit keriput bukan karena usia tua,
tetapi disebabkan penderitaannya selama tiga tahun berumah tangga dengan Nunik
mantan istrinya. Selama dengan Nunik Dendi bagaikan hidup sebagai robot
pencetak uang yang setiap hari harus selalu siap memberikan uang. Tidak penting
uang itu Dendi dapatkan dari mana. Untunglah kakak-kakaknya mendukungnya
bercerai dengan wanita matrealistis itu.
Dua belokan lagi Dendi akan sampai
di rumah kakaknya. Langkah kakinya semakin cepat. Kaos abu-abu yang membungkus
badan mantan satpam sekolah dasar itu tidak bisa menahan udara dingin malam
itu.
Ketika Dendi menarik tas
cangklongnya kedepan, ia menghentikan langkahnya. Dendi ternganga, sepasang
mata berwarna hijau seperti kucing menyorot ke arahnya. Mata yang memesona itu
mengalihkan semua pikirannya, yang ada dibenak Dendi hanyalah dua buah mata
indah yang dimilki seorang wanita cantik yang berdiri di sampingnya.
Wanita itu memegang pundak Dendi yang
berdiri mematung. Bagaimana bisa, wanita cantik ini berbadan sisik ikan, tidak
ada sepasang kaki seperti layaknya wanita biasa? Dendi terus bertanya dalam
hatinya. Namun tidak ada sedikitpun pikirannya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaannya.
Beberapa saat kemudian tangan Dendi
merasakan dingin yang luar biasa. Wanita bersisik ikan itu memegang tangannya,
tersenyum yang luar biasa indahnya lalu berjalan mengajak Dendi yang sudah
tersirih kecantikkannya. Berjalan berdua melewati bangunan-bangunan indah di
kiri kanan yang mengamburkan sinar berwarna putih. Di ujung jalan wanita itu
mengajaknnya duduk di atas batu berbentuk persegi yang begitu hangat.
Terdengar suara suling yang
sayup-sayup terbawa angin dari arah belakang. Dendi menoleh perlahan, dilihatnya
seorang pria yang duduk bersila di dalam saung di tengah sawah yang berjarak
cukup jauh dari tempanya duduk. Beberapa saat dirinya hanyut dalam kemerduan
suara suling yang ditiup pria tua itu.
Seketika suara hentakan mengalihkan
perhatian Dendi, ternyata wanita bersisik itu bangkit dari tempat duduknya lalu
pergi kearah bangunan megah berwarna putih kabur. Segera dia berdiri berusaha
menggerakkan kakinya untuk menahan wanita itu. Tidak berdaya Yanto menggerakkan
kakinya, terbersit dalam hatinya untuk beristigfar.
Diusapkannya tangan kanan
kewajahnya. Terbelalak matanya ketika melihat bangunan kosong dikiri kanannya.
Gelap tanpa sorot lampu. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggelegar dari
arah belakang.
“Astagfirullahaladzim…..”, Dendi
sadar, seorang pria di tengah sawah yang tadi menium suling telah berubah
menjadi sosok menakutkan. Badan dipenuhi bulu hitam nan legam dengan taring
panjang dimulutnya.
Segera saat itupun Dendi berlari
sekuat tenaga, untung dia hafal betul arah menuju rumah kakaknya. Keringat
dingin membasahi kaos abu-abunya.
Suara ketukan pintu yang keras
mengagetkan penghuni rumah yang hanya kakak dan dua orang anak perempuanya.
“assalamualaikum…..ka….ka….ini Dendi ka
”, teriaknya dengan suara
tersengal-sengal.
Kakaknya yang baru saja selesai
shalat isya segera menanggalkan mukena dan berlari kea rah pintu. “Den, kenapa
kamu? Ayo masuk”. dia masuk lalu tersungkur di kursi. Kedua tangannya mengepal
di dada. Beberapa saat menenangkan diri, kakaknya memberi segelas air putih.
Diceritakannya tentang pertemuannya dengan wanita bersisik itu hingga ia
berlari karena melihat pria berbulu hitam lebat yang bertaring tertawa di
tengah sawah.
Malam ini Dendi tidak akan pulang
kerumahnya, ia akan bermalam di rumah kakaknya. Langit hitam malam itu
tiba-tiba mengundang gerimis, menambah suasana sunyi. Hatinya masih bertedak
kencang bagai terkena sengatan listrik lidahnya tidak berhenti beristigfar.
Setelah
beberapa saat menenangkan diri, entah mengapa Dendi merasa terdorong untuk
melihat keluar jendela. Ketika menyibakan tirai jendela dilihatnya kembali
wanita bersisik ikan dengan mata hijaunya tersenyum di seberang jalan dibawah
gerimis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar