Pages - Menu

Minggu, 12 Januari 2014

Perjalanan Ghaib Dendi



CERPEN
Perjalanan Ghaib Dendi
Oleh 
Winni Siti Alawiah,SPd 
guru GO Sukabumi

            Sehabis shalat magrib Dendi pria berusia 24 tahun yang bekerja sebagai tengkulak sayur di pasar berencana pergi ke rumah kakak perempuannya di daerah Baros yang baru saja dijadikan perumahan besar. Dilipatnya sarung bergaris hijau tua yang sudah lusuh lalu dimasukan kedalam tas canklong berukuran duapuluh kali enambelas senti itu. 

            Di luar mesjid sudah berjejer angkot berwarna biru langit yang siap membawanya ke rumah kakak perempuannya. “perum mang?” tanya Dendi kepada supir angkot. “iya, tapi hanya sampai sektor mas. Sudah jam setengah tujuh, angkot tidak bisa masuk. Kalau mau naik ojek saja,” jelas supir setengah baya itu tanpa membalikan wajanya kearah Dendi. 

            Dendi memeriksa uang disaku kanan dan kirinya, tidak ada uang sepeserpun. Dia ingat bahwa sayurannya tadi ada yang terjual walaupun hanya tiga ikat kangkung yang seharga tiga ribu rupiah. Diambilnya uang itu di dalam tasnya. Uangnya hanya cukup untuk membayar angkot.
            Dipersimpangan Dendi turun dari angkot beberapa tukang ojek menghampirinya menawarkan jasa antarnya. Berjalan kaki keputusan yang diambilnya karena tidak ada uang lagi di dalam tasnya. Cakrawala memancarkan sinar kemerahannya dari barat, ketika lelaki yang bertubuh kurus dibalut kaos abu-abu yang mulai lusuh itu mulai berjalan melewati rumah-rumah kosong yang baru saja dibangun. 

            Dulu, Deni bertubuh tegap dan gagah. Kini kulitnya sawo matang mungkin disebabkan pekerjaannya sebegai tengkulak sayur yang harus siap beradu dengan sinar matahari setiap harinya. Kumisnyapun lebat, liar tidak terurus, wajahnya sedikit keriput bukan karena usia tua, tetapi disebabkan penderitaannya selama tiga tahun berumah tangga dengan Nunik mantan istrinya. Selama dengan Nunik Dendi bagaikan hidup sebagai robot pencetak uang yang setiap hari harus selalu siap memberikan uang. Tidak penting uang itu Dendi dapatkan dari mana. Untunglah kakak-kakaknya mendukungnya bercerai dengan wanita matrealistis itu.

            Dua belokan lagi Dendi akan sampai di rumah kakaknya. Langkah kakinya semakin cepat. Kaos abu-abu yang membungkus badan mantan satpam sekolah dasar itu tidak bisa menahan udara dingin malam itu.

            Ketika Dendi menarik tas cangklongnya kedepan, ia menghentikan langkahnya. Dendi ternganga, sepasang mata berwarna hijau seperti kucing menyorot ke arahnya. Mata yang memesona itu mengalihkan semua pikirannya, yang ada dibenak Dendi hanyalah dua buah mata indah yang dimilki seorang wanita cantik yang berdiri di sampingnya. 

            Wanita itu memegang pundak Dendi yang berdiri mematung. Bagaimana bisa, wanita cantik ini berbadan sisik ikan, tidak ada sepasang kaki seperti layaknya wanita biasa? Dendi terus bertanya dalam hatinya. Namun tidak ada sedikitpun pikirannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. 

            Beberapa saat kemudian tangan Dendi merasakan dingin yang luar biasa. Wanita bersisik ikan itu memegang tangannya, tersenyum yang luar biasa indahnya lalu berjalan mengajak Dendi yang sudah tersirih kecantikkannya. Berjalan berdua melewati bangunan-bangunan indah di kiri kanan yang mengamburkan sinar berwarna putih. Di ujung jalan wanita itu mengajaknnya duduk di atas batu berbentuk persegi yang begitu hangat. 

            Terdengar suara suling yang sayup-sayup terbawa angin dari arah belakang. Dendi menoleh perlahan, dilihatnya seorang pria yang duduk bersila di dalam saung di tengah sawah yang berjarak cukup jauh dari tempanya duduk. Beberapa saat dirinya hanyut dalam kemerduan suara suling yang ditiup pria tua itu.

            Seketika suara hentakan mengalihkan perhatian Dendi, ternyata wanita bersisik itu bangkit dari tempat duduknya lalu pergi kearah bangunan megah berwarna putih kabur. Segera dia berdiri berusaha menggerakkan kakinya untuk menahan wanita itu. Tidak berdaya Yanto menggerakkan kakinya, terbersit dalam hatinya untuk beristigfar.

            Diusapkannya tangan kanan kewajahnya. Terbelalak matanya ketika melihat bangunan kosong dikiri kanannya. Gelap tanpa sorot lampu. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggelegar dari arah belakang.  

            “Astagfirullahaladzim…..”, Dendi sadar, seorang pria di tengah sawah yang tadi menium suling telah berubah menjadi sosok menakutkan. Badan dipenuhi bulu hitam nan legam dengan taring panjang dimulutnya. 

            Segera saat itupun Dendi berlari sekuat tenaga, untung dia hafal betul arah menuju rumah kakaknya. Keringat dingin membasahi kaos abu-abunya.
            Suara ketukan pintu yang keras mengagetkan penghuni rumah yang hanya kakak dan dua orang anak perempuanya. “assalamualaikum…..ka….ka….ini Dendi ka ”, teriaknya dengan suara tersengal-sengal.

            Kakaknya yang baru saja selesai shalat isya segera menanggalkan mukena dan berlari kea rah pintu. “Den, kenapa kamu? Ayo masuk”. dia masuk lalu tersungkur di kursi. Kedua tangannya mengepal di dada. Beberapa saat menenangkan diri, kakaknya memberi segelas air putih. Diceritakannya tentang pertemuannya dengan wanita bersisik itu hingga ia berlari karena melihat pria berbulu hitam lebat yang bertaring tertawa di tengah sawah.

            Malam ini Dendi tidak akan pulang kerumahnya, ia akan bermalam di rumah kakaknya. Langit hitam malam itu tiba-tiba mengundang gerimis, menambah suasana sunyi. Hatinya masih bertedak kencang bagai terkena sengatan listrik lidahnya tidak berhenti beristigfar.

Setelah beberapa saat menenangkan diri, entah mengapa Dendi merasa terdorong untuk melihat keluar jendela. Ketika menyibakan tirai jendela dilihatnya kembali wanita bersisik ikan dengan mata hijaunya tersenyum di seberang jalan dibawah gerimis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar