Pages - Menu

Kamis, 20 Februari 2014

Puzzle Oleh Winni Siti Alawiah,SPd


Puzzle
Oleh Winni Siti Alawiah,SPd
( Guru Bimbel GO Sukabumi  )
Terbangun di seperempat malam. Kini semakin rutin. Semua hanya untuk ketenangan hatinya. Semua yang berubah dalam hidupnya semakin rumit.

“Ya Allah, haruskah keluargaku hancur karna seorang  yang durhaka?”. Airmatanya meleleh membasahi mukena keemasan. Afnan lirih dalam setiap doanya. Hingga setiap kata pada doanya disisipi sesak dalam dada.

“Kenapa, kenapa harus begini terpuruknya….”. Sulit bibirnya mengutarakan kalimat yang membuatnya selalu merintih. Malam yang selalu panjang untuk doanya, mendingin bersama tasbih, dan senyap bersama hebusan angin.

Pagi kembali berhasil menyembunyikan segalanya.  Afnan yang ceria tanpa beban menjalani kewajibannya sebagai anak sekolah. Menjadi sibuk adalah hal wajar bagi semua siswa kelas tiga SMA. Segala hal dicari demi mendapatkan tempat kuliah yang diinginkan, bahkan beasiswa yang menjadi buruan.

Pukul sebelas yang begitu terik. Seperti mendukung langkah Afnan untuk mengunjungi ruang BK bersama Deya sahabatnya.

“Af, aku semakin tegang menghadapi tes nanti. Aku takut tidak masuk ke universitas itu”

“Percaya diri dong, mana Deya yang selalu optimis”

“Kamu selalu bisa buat kamu semangat lagi”. Tanpa Deya tahu, senyumannya banyak membuka ruang udara pada dada Afnan yang sesak.

Ruang BK yang dituju dipenuhi banyak teman Afnan dari kelas lain. Hal yang sama yang mereka lakukan. Bertemu guru BK untuk bimbingan dan mendapatkan pencerahan tentang segala hal berkaitan dengan perkuliahan. Afnan dan Deya pun menahan diri dengan duduk di kursi, mengantri. Tidak ada yang tahu. Bahkan Deya sekalipun, yang begitu dekat dengan Afnan sejak kelas satu. Semenjak semester dua. Waktu dia tanpa percakapan adalah penderitaan bagi Afnan.

“Ya Allah, apa bisa aku melanjutkan kuliah dengan keadaan seperti ini?”, batin Afnan merintih. Setiap kali diam itu mengisi waktunya. Tangis yang harus ditahannya selama berada bersama Deya dan teman lainnya. Senyum yang sangat palsu itu seolah hampir runtuh.

Dan detik-detik antrian di ruang BK kini, sangat menyesakkan bahkan setelah sebuah pesan dari telepon genggam Afnan dibacanya.



Dari: De  Alin

Teh cepet pulang, dia ada di rumah. Minta uang sama mama 300rb, padahl mama lagi gak punya uang




Dari: De Alin

Teh kasian mama, kulkas di tonjok sampai penyok karna dia gak dikasih uang.



Nafas Afnan sesak seperti orang yang dituduh mencuri  oleh orang banyak. Mata yang berkaca-kaca itu tidak bisa lagi bersembunyi. Segera dirinya pergi menuju kamar kecil di belakang ruang BK, tanpa ditemani Deya.

Tangis yang tak tertahan itu segera menguasainya. Tidak ada yang lebih menyedihkan. Hari-hari dimana adik-adiknya harus merasa takut berada di rumah sendiri. Mamanya yang harus menitikan air mata penuh kecewa. Rasa malu dan minder, acapkali tetangga menanyakan hal tentang dia.

Detik itu juga Afnan membasuh wajahnya dengan air. Berlari menuju kelas dan meminta izin pada guru piket untuk pulang dengan alasan sakit. Tanpa memberitahu Deya yang masih menunggunya di ruang BK. Rumah yang ditujunya, seketika membayang menjadi taman bunga yang rusak di halau singa gila yang selalu lapar.

Ucapan salam yang dijawab kesunyian. Rumahnya sepi. Namun hawa cemas itu begitu terasa. Di dalam kamar De Alin terbaring bukan tidur.

“De, Mama mana?”

“Ke pasar teh. Teteh mama kasian,”

Segera pelukan itu menahan tangis Alin. Senggukan memilukan kembali harus mendarat di dekapannya. Seorang adik perempuan yang masih duduk di bangku kelas satu SMP. Harus tertekan batinnya oleh kelakuan buruk yang menghancurkan keharmonisan keluarganya.

Sore rasanya begitu cepat mengubah cahaya langit menjadi kelam penuh ketakutan. Afnan duduk berdekatan dengan Alin dan Annya. Annya adik pertamanya yang lebih tegar dari Alin. Mungkin karena usinya yang lebih tua dari Alin.

“Teh, pasti malam ini ribut lagi”

“Udah, udah. Sekarang Annya dan Alin tidur dulu ya. Kan besok sekolah”. Suara yang dibuat setenang mungkin. Afnan mencoba membuat adik-adiknya tenang tanpa beban pikiran yang terlalu berat bagi usia mereka.

Tidak berapa lama setelah Alin tertidur di tengah-tengah Afnan dan Annya. Suara bentakan itu kembali membuat tekanan di ulu hati  yang begitu pilu bagi Afnan.

“Mana dong uangnya! Butuh nih!. Gak kayak orang tua lain, kalau anaknya minta uang langsung di kasih!”

“Bapak banyak pengeluaran, adik-adik kamu sedang membutuhkan banyak uang. masa kamu mau minta terus sama orang tua. Usia kamu sudah seharusnya punya uang sendiri. Jadi lelaki harus bisa cari uang dengan usaha sendiri”

“Ah pelit, gimana anaknya mau maju!. Harusnya beli motor dulu baru aku bisa kerja bener!”

“Astagfirullah. Aa itu lulusan universitas ternama. Harusnya cari kerja tidak sulit. Masa sekarang masih minta sama orang tua. Liat kondisi ade-adek kamu yang butuh uang banyak. ….”

“AAAAHH!, yaudah dong beliin dulu motor. Cape kan, harus bolak-balik ke setiap pondok, jaraknya jauh!.” Suara bernada kasar itu memotong perkataan Bapak.

“Kalau punya uang silahkan beli!”. Suara bapak meninggi, kerutan di wajahnya semakin menyesakkan dada Afnan. Kerutan yang penuh beban.

Ketakutan itu seketika muncul di benak Afnan. Takut, jika bapaknya harus menjual semua peralatan kerjanya. Setelah seminggu lalu, kamera dan sound besarnya di jual dengan harga miring. Demi membayar cicilan notebook yang sengaja tidak dibayar olehnya.

Afnan menutup rapat kedua telinganya. Terlalu banyak, dadanya sudah tidak sanggup menahan beban itu. Pelukan erat dari Annya membuat tangisnya semakin hebat. Ternyata Annya belum tidur. Afnan dan Annya saling berpelukan. Menahan tangis bersama.

“Teh Annya mau bilang sama aa. Dia itu kerja apa? Usianya sudah 28, kenapa masih minta uang sama mama dan bapak? Annya mau bilang jangan pulang lagi ke rumah!”

“Annya, Annya!”, Afnan berusaha mengeratkan pelukannya agar Annya tidak beranjak. Nekad keluar kamar dan membuat semuanya menjadi lebih tegang.

Masih tertahan. Hingga hentakan keras meja dari ruang tengah itu menghabiskan kesabaran. Annya berlari membuka pintu kamar menuju ruang tengah. Penuh isak dirinya begitu lantang.

“Hey Ramdan! Kamu sudah besar masih berani minta uang sama orang tua! Umur kamu sudah tua, malu harusnya pulang masih minta-minta uang. kita semua lagi banyak pengeluaran. Cuma bapak yang nyari uang, sadar dong…..”. Belum selesai, Annya segera di dekap mulutnya oleh mama. dan hardikan kasar itu terlontar.

“Ahhh, setan kecil! Jangan so tau kamu. Mau ditampar!”. Ramdan yang kasar mengeluarkan amarah gilanya. Menendang kursi dan berusaha menampar Annya. Menampar Annya, itu tidak pernah bisa!, segera Afnan pun menuju ruang tengah.

“Sudah..sudahhh”, Mama membungkam mulut Annya begitu keras.

“Aduh, Bapak harus bagaimana ini. Bapak gagal mendidik anak”, air mata yang langka itu luruh. Perih rasanya seorang Bapak yang penuh wibawa dan tanggung jawab itu menangis.

“Ahhh, makanya belikan aku motor seperti anak yang lain. Kalau tidak aku mau di rumah tidak akan kerja. Atau seperti anak yang lain, yang orang tuanya memberikan pekerjaan!”

“Astagfirullah a, kamu tidak dewasa. Kita bukan keluarga konglomerat yang bisa mewariskan perusahaan untuk anaknya…”

“Ahh setan!”

“Mending pergi ajah kamu, jangan pulang-pulang lagi!” terlontar keras makian dari hati itu. Afnan segera di dekap mama.

“Dasar setan kecil! Ok aku di usir, aku mau hidup di Jakarta saja jual narkoba kalau bisa!”

“Jangan begitu a, malu keluarga kalau orang tahu lulusan universitas jadi tukang narkoba….”

“Sudah ma, sudah. Biar dia pergi. Sudah balig, sudah dewasa. Bukan tanggung jawab kita lagi. Dia mau jadi apa, dia mau berbuat apa bukan tanggungan kita lagi.”

Malam yang bising, terlalu jahat bagi langit sunyi dan bulan yang setia. Kepergiannya seolah bentakan anak kecil yang meminta sesuatu pada ibunya. Itu bukan yang pertama kali dilakukan Ramdan. Anak pertama yang durhaka. Mama dan bapak sudah beberapa kali dibuat menangis pilu. Bapak yang menjadi tulang punggung hampir stress. Banyak perabotan rumah hampir rusak karna dihajarnya. Mama yang setiap hari diselimuti kekhawatiran. Kedatangannya bagai ancaman. Uang Mama yang sudah beberapa kali raib dimalingnya. Rasa aman yang tidak bersisa.

Afnan memeluk mama dan Annya. Dan suara tangis menyesak terputus-putus, dari kamar. Ya Allah, Alin menangis sambil berbaring. Dia menyembunyikannya. Seorang anak berusia sembilan tahun, harus memikul beban sebesar ini. Tidak adil! Mama langsung mendekapnya.

“Alin kenapa nangis?. Tidak ada apa-apa. Jangan memikirkan yang tadi. Itu Aa sedang kesal, nanti juga baik lagi”, Mama mencoba menenangkan. Takut rasanya jika kejiwaan Alin harus terganggu.

“Itu bukan aa Alin. Alin gak mau punya aa kayak gitu. Alin mau Allah cabut nyawanya”

“Astagfirullahalazimm, Alin gak boleh berdoa seperti itu…”

Penuh dengan isak dan sesak. Malam itu terlampau sempit memberi ruang Afnan, Annya, Alin, Mama, dan Bapak untuk bernafas. Esok hari hari yang masih kelam penuh ancaman. Ramdan membawa banyak petaka. Cicilan yang menjadi tanggunan bulanan baru untuk bapak. Uang untuk kuliah Afnan yang harus terbagi sementara hingga cicilan itu lunas.

Bagi Afnan hanya kemurahan Allah, dapat berkuliah dengan uang yang sudah jauh dari kata cukup. Annya dan Alin yang akan naik kelas. Akan terhambat membayar spp. Gaji bapak sudah berkurang dua puluh lima persen dari gaji pokoknya, semenjak Ramdan memintanya untuk bisnis dengan temannya. Hasilnya adalah bualan memuakkan. Tidak ada uang kembali sepeserpun. Justru kepulangannya  bagai pemululung lusuh tanpa ijazah. Dan penderitaan bertubi-tubi ini entah akan dihentikan Allah sampai kapan.

“Jika keluarga ini adalah puzzle yang dibuat Allah sedemikian rupa. Biarlah bagian yang tidak pas dan kotor itu dilepas. Meskipun akan terlihat rumpang. Lebih baik tiada daripada merusak dan tak indah.”  Suratan hati Afnan.





Ruang sujud, 02.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar