Oleh
Winni Siti Alawiah,SPd
( Guru Bimbel GO Sukabumi )
“Ya Allah, haruskah
keluargaku hancur karna seorang yang
durhaka?”. Airmatanya meleleh membasahi mukena keemasan. Afnan lirih dalam
setiap doanya. Hingga setiap kata pada doanya disisipi sesak dalam dada.
“Kenapa, kenapa harus
begini terpuruknya….”. Sulit bibirnya mengutarakan kalimat yang membuatnya selalu
merintih. Malam yang selalu panjang untuk doanya, mendingin bersama tasbih, dan
senyap bersama hebusan angin.
Pagi kembali berhasil
menyembunyikan segalanya. Afnan yang
ceria tanpa beban menjalani kewajibannya sebagai anak sekolah. Menjadi sibuk
adalah hal wajar bagi semua siswa kelas tiga SMA. Segala hal dicari demi
mendapatkan tempat kuliah yang diinginkan, bahkan beasiswa yang menjadi buruan.
Pukul sebelas yang
begitu terik. Seperti mendukung langkah Afnan untuk mengunjungi ruang BK
bersama Deya sahabatnya.
“Af, aku semakin tegang
menghadapi tes nanti. Aku takut tidak masuk ke universitas itu”
“Percaya diri dong,
mana Deya yang selalu optimis”
“Kamu selalu bisa buat
kamu semangat lagi”. Tanpa Deya tahu, senyumannya banyak membuka ruang udara
pada dada Afnan yang sesak.
Ruang BK yang dituju dipenuhi
banyak teman Afnan dari kelas lain. Hal yang sama yang mereka lakukan. Bertemu
guru BK untuk bimbingan dan mendapatkan pencerahan tentang segala hal berkaitan
dengan perkuliahan. Afnan dan Deya pun menahan diri dengan duduk di kursi, mengantri.
Tidak ada yang tahu. Bahkan Deya sekalipun, yang begitu dekat dengan Afnan
sejak kelas satu. Semenjak semester dua. Waktu dia tanpa percakapan adalah
penderitaan bagi Afnan.
“Ya Allah, apa bisa aku
melanjutkan kuliah dengan keadaan seperti ini?”, batin Afnan merintih. Setiap
kali diam itu mengisi waktunya. Tangis yang harus ditahannya selama berada
bersama Deya dan teman lainnya. Senyum yang sangat palsu itu seolah hampir
runtuh.
Dan detik-detik antrian
di ruang BK kini, sangat menyesakkan bahkan setelah sebuah pesan dari telepon
genggam Afnan dibacanya.
Dari: De Alin
Teh cepet
pulang, dia ada di rumah. Minta uang sama mama 300rb, padahl mama lagi gak
punya uang
Dari: De Alin
Teh kasian
mama, kulkas di tonjok sampai penyok karna dia gak dikasih uang.
Nafas Afnan sesak
seperti orang yang dituduh mencuri oleh
orang banyak. Mata yang berkaca-kaca itu tidak bisa lagi bersembunyi. Segera
dirinya pergi menuju kamar kecil di belakang ruang BK, tanpa ditemani Deya.
Tangis yang tak
tertahan itu segera menguasainya. Tidak ada yang lebih menyedihkan. Hari-hari
dimana adik-adiknya harus merasa takut berada di rumah sendiri. Mamanya yang
harus menitikan air mata penuh kecewa. Rasa malu dan minder, acapkali tetangga
menanyakan hal tentang dia.
Detik itu juga Afnan
membasuh wajahnya dengan air. Berlari menuju kelas dan meminta izin pada guru
piket untuk pulang dengan alasan sakit. Tanpa memberitahu Deya yang masih
menunggunya di ruang BK. Rumah yang ditujunya, seketika membayang menjadi taman
bunga yang rusak di halau singa gila yang selalu lapar.
Ucapan salam yang
dijawab kesunyian. Rumahnya sepi. Namun hawa cemas itu begitu terasa. Di dalam
kamar De Alin terbaring bukan tidur.
“De, Mama mana?”
“Ke pasar teh. Teteh
mama kasian,”
Segera pelukan itu
menahan tangis Alin. Senggukan memilukan kembali harus mendarat di dekapannya. Seorang
adik perempuan yang masih duduk di bangku kelas satu SMP. Harus tertekan
batinnya oleh kelakuan buruk yang menghancurkan keharmonisan keluarganya.
Sore rasanya begitu
cepat mengubah cahaya langit menjadi kelam penuh ketakutan. Afnan duduk
berdekatan dengan Alin dan Annya. Annya adik pertamanya yang lebih tegar dari
Alin. Mungkin karena usinya yang lebih tua dari Alin.
“Teh, pasti malam ini
ribut lagi”
“Udah, udah. Sekarang
Annya dan Alin tidur dulu ya. Kan besok sekolah”. Suara yang dibuat setenang
mungkin. Afnan mencoba membuat adik-adiknya tenang tanpa beban pikiran yang
terlalu berat bagi usia mereka.
Tidak berapa lama
setelah Alin tertidur di tengah-tengah Afnan dan Annya. Suara bentakan itu
kembali membuat tekanan di ulu hati yang
begitu pilu bagi Afnan.
“Mana dong uangnya!
Butuh nih!. Gak kayak orang tua lain, kalau anaknya minta uang langsung di
kasih!”
“Bapak banyak
pengeluaran, adik-adik kamu sedang membutuhkan banyak uang. masa kamu mau minta
terus sama orang tua. Usia kamu sudah seharusnya punya uang sendiri. Jadi
lelaki harus bisa cari uang dengan usaha sendiri”
“Ah pelit, gimana
anaknya mau maju!. Harusnya beli motor dulu baru aku bisa kerja bener!”
“Astagfirullah. Aa itu
lulusan universitas ternama. Harusnya cari kerja tidak sulit. Masa sekarang
masih minta sama orang tua. Liat kondisi ade-adek kamu yang butuh uang banyak.
….”
“AAAAHH!, yaudah dong beliin
dulu motor. Cape kan, harus bolak-balik ke setiap pondok, jaraknya jauh!.”
Suara bernada kasar itu memotong perkataan Bapak.
“Kalau punya uang
silahkan beli!”. Suara bapak meninggi, kerutan di wajahnya semakin menyesakkan
dada Afnan. Kerutan yang penuh beban.
Ketakutan itu seketika
muncul di benak Afnan. Takut, jika bapaknya harus menjual semua peralatan
kerjanya. Setelah seminggu lalu, kamera dan sound besarnya di jual dengan harga
miring. Demi membayar cicilan notebook
yang sengaja tidak dibayar olehnya.
Afnan menutup rapat
kedua telinganya. Terlalu banyak, dadanya sudah tidak sanggup menahan beban
itu. Pelukan erat dari Annya membuat tangisnya semakin hebat. Ternyata Annya
belum tidur. Afnan dan Annya saling berpelukan. Menahan tangis bersama.
“Teh Annya mau bilang
sama aa. Dia itu kerja apa? Usianya sudah 28, kenapa masih minta uang sama mama
dan bapak? Annya mau bilang jangan pulang lagi ke rumah!”
“Annya, Annya!”, Afnan
berusaha mengeratkan pelukannya agar Annya tidak beranjak. Nekad keluar kamar
dan membuat semuanya menjadi lebih tegang.
Masih tertahan. Hingga
hentakan keras meja dari ruang tengah itu menghabiskan kesabaran. Annya berlari
membuka pintu kamar menuju ruang tengah. Penuh isak dirinya begitu lantang.
“Hey Ramdan! Kamu sudah
besar masih berani minta uang sama orang tua! Umur kamu sudah tua, malu
harusnya pulang masih minta-minta uang. kita semua lagi banyak pengeluaran.
Cuma bapak yang nyari uang, sadar dong…..”. Belum selesai, Annya segera di
dekap mulutnya oleh mama. dan hardikan kasar itu terlontar.
“Ahhh, setan kecil!
Jangan so tau kamu. Mau ditampar!”. Ramdan yang kasar mengeluarkan amarah
gilanya. Menendang kursi dan berusaha menampar Annya. Menampar Annya, itu tidak
pernah bisa!, segera Afnan pun menuju ruang tengah.
“Sudah..sudahhh”, Mama
membungkam mulut Annya begitu keras.
“Aduh, Bapak harus
bagaimana ini. Bapak gagal mendidik anak”, air mata yang langka itu luruh.
Perih rasanya seorang Bapak yang penuh wibawa dan tanggung jawab itu menangis.
“Ahhh, makanya belikan
aku motor seperti anak yang lain. Kalau tidak aku mau di rumah tidak akan
kerja. Atau seperti anak yang lain, yang orang tuanya memberikan pekerjaan!”
“Astagfirullah a, kamu
tidak dewasa. Kita bukan keluarga konglomerat yang bisa mewariskan perusahaan
untuk anaknya…”
“Ahh setan!”
“Mending pergi ajah
kamu, jangan pulang-pulang lagi!” terlontar keras makian dari hati itu. Afnan
segera di dekap mama.
“Dasar setan kecil! Ok
aku di usir, aku mau hidup di Jakarta saja jual narkoba kalau bisa!”
“Jangan begitu a, malu
keluarga kalau orang tahu lulusan universitas jadi tukang narkoba….”
“Sudah ma, sudah. Biar
dia pergi. Sudah balig, sudah dewasa. Bukan tanggung jawab kita lagi. Dia mau
jadi apa, dia mau berbuat apa bukan tanggungan kita lagi.”
Malam yang bising,
terlalu jahat bagi langit sunyi dan bulan yang setia. Kepergiannya seolah
bentakan anak kecil yang meminta sesuatu pada ibunya. Itu bukan yang pertama
kali dilakukan Ramdan. Anak pertama yang durhaka. Mama dan bapak sudah beberapa
kali dibuat menangis pilu. Bapak yang menjadi tulang punggung hampir stress.
Banyak perabotan rumah hampir rusak karna dihajarnya. Mama yang setiap hari
diselimuti kekhawatiran. Kedatangannya bagai ancaman. Uang Mama yang sudah
beberapa kali raib dimalingnya. Rasa aman yang tidak bersisa.
Afnan memeluk mama dan
Annya. Dan suara tangis menyesak terputus-putus, dari kamar. Ya Allah, Alin
menangis sambil berbaring. Dia menyembunyikannya. Seorang anak berusia sembilan
tahun, harus memikul beban sebesar ini. Tidak adil! Mama langsung mendekapnya.
“Alin kenapa nangis?.
Tidak ada apa-apa. Jangan memikirkan yang tadi. Itu Aa sedang kesal, nanti juga
baik lagi”, Mama mencoba menenangkan. Takut rasanya jika kejiwaan Alin harus
terganggu.
“Itu bukan aa Alin.
Alin gak mau punya aa kayak gitu. Alin mau Allah cabut nyawanya”
“Astagfirullahalazimm,
Alin gak boleh berdoa seperti itu…”
Penuh dengan isak dan
sesak. Malam itu terlampau sempit memberi ruang Afnan, Annya, Alin, Mama, dan
Bapak untuk bernafas. Esok hari hari yang masih kelam penuh ancaman. Ramdan
membawa banyak petaka. Cicilan yang menjadi tanggunan bulanan baru untuk bapak.
Uang untuk kuliah Afnan yang harus terbagi sementara hingga cicilan itu lunas.
Bagi Afnan hanya
kemurahan Allah, dapat berkuliah dengan uang yang sudah jauh dari kata cukup.
Annya dan Alin yang akan naik kelas. Akan terhambat membayar spp. Gaji bapak
sudah berkurang dua puluh lima persen dari gaji pokoknya, semenjak Ramdan memintanya
untuk bisnis dengan temannya. Hasilnya adalah bualan memuakkan. Tidak ada uang
kembali sepeserpun. Justru kepulangannya
bagai pemululung lusuh tanpa ijazah. Dan penderitaan bertubi-tubi ini
entah akan dihentikan Allah sampai kapan.
“Jika keluarga ini
adalah puzzle yang dibuat Allah sedemikian rupa. Biarlah bagian yang tidak pas
dan kotor itu dilepas. Meskipun akan terlihat rumpang. Lebih baik tiada
daripada merusak dan tak indah.” Suratan
hati Afnan.
Ruang sujud, 02.30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar