Pages - Menu

Kamis, 10 April 2014

Labirin 1



Oleh Winni Siti Alawiah, SPd
Guru Bimbel GO Sukabumi

Krek krek kreeeekkk…
Suara pintu yang perlahan terbuka.
“Sandy. Awas!”
“Gila! Kau mengagetkanku!”
“Hahaha. Siapa suruh kau pergi duluan”
“Aku hanya penasaran saja”. Sandy masih menyalakan senternya. Cahayanya ditujukan ke samping kanan.
“Cari jejak kan belum dimulai. Apa yang kau cari?” selisik Naura menaikan satu alisnya. Rasa penasarannya semakin menjalar. Tatkala sebuah bayangan melintas di depan mereka.
“Apa itu?”, keduanya saling bertatapan. Detup jantung Naura semakin kencang. Sandy sadar bahwa ada sosok misterius melintas dihadapan mereka.
Sandy memegang tangan kanan Naura. Mereka perlahan berjalan terus ke depan. Melewati sebuah lorong panjang tanpa cahaya lampu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Belum ada satupun anggota tim lain yang datang kesana. Hampir sampai di ujung lorong. Genggaman Naura semakin erat.
“Tenang, tenang. Ini baru jam setangah sembilan. Aku yakin belum ada apa-apa. Pasti yang tadi kita lihat adalah bayangan hewan”
“Ya benar, pasti bayangan hewan. Bayangan hewan kecil kan bisa terlihat tiga kali lebih besar dari aslinya”. Naura berusaha menyakinkan dirinya. Berusaha menghilangkan rasa takut yang ada.
Tak lama setelah keduanya keluar dari lorong itu, beberapa anggota tim lain datang. Semua berpakaian lengkap dengan alat-alat ala pasukan pembasmi hantu atau yang sering kita sebut dengan nama ghostbuster.
“Semua, cek ulang setiap anggotanya dan kelengkapan yang akan dibawa. Ingat dalam peraturan tidak diperbolehkan anggota tim memisahkan diri dari kelompoknya. Apalagi kembali ke posko sebelum misi selesai. Paham?!”
“Paham!!!” Jawaban serentak seluruh tim.
“San, lorong itu. Kita harus kesitu lagi”. Sikut mengenai lengan Sandy.
Sandy menoleh sesaat. Tangannya segera mengepal tangan Naura.
“Kita pasti bisa! Semangat!”
***
Langkah perlahan itu begitu hati-hati. Hanya suara angin dan ranting-ranting dan daun kering yang terinjak. Senyap begitu yang mereka rasakan tatkala langkah mereka memasuki muka lorong. Cahaya senter menjadi satu-satunya mata mereka saat itu. Hanya ada dua tim yang harus menyelesaikan misinya di bangunan tua berlorong itu.
“San, kau tidak merasa aneh?”
“Aneh apa?”
“Kelompok sembilan. Bela dan Agi. Bukanya mereka juga harusnya di sekitar kita”
“Naura, kau lupa ya. Banyak pintu di bangunan besar ini. Apalagi malam hari. Kemungkinan kita bertemu dengan mereka kecil. Mungkin saja mereka memiliki taktik melalui jalan-jalan yang lebih sunyi dan tidak kita ketahui”
“Tapi kalau begitu seharusnya bendera di gerbang utama sudah mereka dapatkan. Justru kita duluan yang dapat. Itu kan aneh”
“Nau..Lihat! Ada yang berlari. Dua orang. Itu pasti mereka”
“Bela dan Agi?”
“Ya, siapa lagi! Ayo kita kejar. Pasti mereka juga melihat kita. Kalau kita bisa mengikuti tanpa mereka sadari. Kita bisa menikung jalannya”
“Ide bagus. Tapi, kau yakin itu mereka?”
“Ayolah Nau! Semangat”
Langkah besar yang semakin cepat. Hampir menyusul bayangan kedua orang di depannya. Bayangan tinggi besar dengan tas pinggang. Itu persis seperti Agi. Ya, Sandy begitu yakin bahwa kedua bayangan itu adalah Bela dan Agi.
“Stttttt”, Sandy menghentikan langkahnya. Telunjuknya ditempelkan ke bibir.
Naura mencoba menahan napasnya. Mereka berhenti ketika Sandy menyadari bahwa suara langkah kedua bayangan itu berhenti. Mereka berdiri di balik penyangga bangunan yang besarnya tiga kali ukuran tubuh.
Masih tanpa suara. Bayangan itu berdiam beberapa menit epuluh langkah dari mereka. Sandy mencoba menahan kakinya yang mulai kaku. Kedinginan, mungkin hampir keram.
“San, kakimu…”
“Sttttttt”. Sandy memotong perkataan Naura, tetap menahan dan mencoba diam.
Dan langkah itu kembali terdengar. Kedua bayangan itu melanjutkan langkahnya berbelok ke kanan. Melewati pintu samping bangunan. Sepertinya mencari sesuatu. Karena sudah pasti jika itu Agi dan Bela, mereka akan cekatan dalam menjalankan misi seperti ini.
“Kakimu San”
“Tidak apa-apa Naura. Aku hanya butuh tiga menit”
Sandy mencari dinding didekat pintu samping. Menyandarkan tubuhnya dan menarik napas panjang. Pandangan Naura tertuju keluar. Kearah bayangan tadi berlalu.
“Kenapa Nau?”
“Aku masih belum yakin itu mereka. Karna aku tahu Bela tidak bisa berjalan secepat itu. Meskipun dia orang yang cerdas”
“Siapa dulu patnernya. Malgi Agata atau Agi ang penakluk malam”
Senyuman tersungging dari bibir Naura. Hatinya tenang dan mulai menyakini bahwa kedua bayangan itu adalah Agi dan Bela.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Jam kulit yang melekat di pergelangan Sandy berbunyi. Alamarnya menandakan setengah jam sudah berlalu. Artinya, dua jam setengah lagi sisa waktu mereka untuk menyelesaikan misi mala mini.
Keduanya berhenti tepat di samping bangunan. Entah taman atau semacam perkebunan kecil. Banyak polibag di sekitar mereka. Sesekali polibag itu terinjak oleh Naura. Setiap kali menginjaknya, Naura merasakan takut.
Naura orang yang sangat sensitive. Sedikit saja Sandy menghentikan langkahnya. Jantung Naura berdetup kencang. Matanya akan segera menelisik kesekitar. Namun beruntung, Sandy adalah teman laki-laki sekaligus patnernya yang paling bisa membuatnya kembali tenang dan semangat.
Ini kali ketiga Naura menjadi patner Sandy dalam menyelesaikan misi seperti ini.
“Senternya Nau”
“Kesana Nau, itu sebelah pohon besar”
“Apa itu?”
“Terus arahkan kesana”
“Itu besar San. Itu..itu…”
“Oh my god. Lari!!!”, Sandy menarik tangan Naura cepat. Berlari berbalik kembali kedalam bangunan. Mematikan senter dan bersembunyi di balik penyangga bangunan. Napas mereka masih tersengal-sengal. Tangan Naura menegang memegang erat lengan Sandy. Sandy berusaha mengatur napasnya. Dan sesekali menelisik kearah belakang.
“Itu, itu seperti beruang besar”
“tapi..tapi..tapii itu bertaring San…”
“Ok ok, kita harus tenang. Kita diam disini dulu sampai kita benar-benar tenang”
“Aku takut san. Itu pasti penampakan pertama. Mungkin penghuni bangunan ini. Atau…”
“Stttt, dengar itu…”
Sreeett Sretttt Srettt. Bunyi sesuatu yang diseret ke lantai. Kedua mata mereka berpandangan. Sangat terlihat Naura begitu ketakutan.
“Recodasa reco reco…..” Suara besar itu seolah mendekat.
“Aaaaku takut San….”
“Ok, kita siap-siap lari ke sebelah kiri. Kita kembali ke rute awal”. Sandy memberi aba-aba untuk mereka berlari.

>>bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar