Benarkah
Orangtua Siswa Penyebab Tawuran Pelajar?
Oleh
: Dudung Koswara, M.Pd
Hema Hujaemah, M.Pd. menyatakan, mengandung
sembilan bulan dan melahirkan anak itu sangatlah berat. Melahirkan adalah
proses setengah mati, memuncratkan darah dan terkadang meregang nyawa seorang
ibu. Namun menurutnya ada yang jauh lebih berat dari melahirkan yakni
mendidiknya. Mendidik lebih dari setengah mati, bisa mati-matian seorang
ibu mendidik seorang anaknya dan itupun belum jaminan berhasil.
Dalam ajaran agama dipahami, ibu yang
meninggal pada saat melahirkan adalah syahid. Nah, berarti ibu yang
meninggal pada saat mendidik, membiayai, menyekolahkan anaknya dengan
sungguh-sungguh pahalanya di atas ibu yang melahirkan. Betapa beratnya
menjadi orangtua yang mendapat amanah dari Tuhan untuk membesarkan seorang anak
manusia. Kesuksesan kedua orangtua dapat dilihat dari sukses tidaknya anak yang
mereka didik. Apakah Dia menjadi manusia yang bermanfaat atau mengundang
mudharat?
Edukasi dan polarisasi kedua orang tua menjadi
penentu seorang anak akan menjadi apa. Dalam sebuah hadits dinyatakan, “Setiap
bayi yang lahir dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanyalah yang kemudian
berperan dalam merubah fitrahnya, apakah ia kelak menjadi Yahudi, menjadi
Majusi, atau menjadi Nasrani.”
Bila kita percaya akan hadits di atas maka
dinamika, moralitas dan agresifitas anak adalah imbas dari pendidikan dan polarisasi
keluarga dalam hal ini kedua orangtua. Seorang anak adalah peniru ulung. Dia
akan melihat, mendengar dan melakukan sesuatu sebagaimana kedua orangtuanya
melakukan sesuatu. Perlu pembiasaan (habituasi) dalam menananmkan hal-hal baik
pada seorang anak. Anehnya seorang anak akan lebih mudah meniru kejelekan
orangtua dibanding kebaikannya.
Bila kita hubungkan dengan maraknya tawuran
pelajar di Kota Sukabumi maka problematika ini akan terkoneksi dengan peran dan
dominasi pendidikan orangtua. Orangtua telah menjadi “biang” lahirnya
anak prustasi dan anak berprestasi. Benarkah kedua orangtua menjadi asbab
lahirnya anak/pelajar yang berprestasi atau bermasalah. Mari kita para orangtua
untuk merefleksi diri sejauhmana eksistensi kita terhadap pertumbuhan kepribadian
seorang anak.
Dalam sebuah survai lapangan dan kunjungan di
negeri Jepang yang dilakukan oleh Prof. Dr. Daud Jusuf ditarik sebuah
kesimpulan bahwa kesantunan dan prestasi pelajar-pelajar di negeri Jepang bukan
karena jasa pemerintah dan guru-gurunya, melainkan pendidikan kedua
orangtuanya, terutama ibu. Di Jepang dikenal istilah “Kyouku Mama”. Kyouku Mama
artinya adalah ajaran mama (pendidikan seorang ibu). Di Jepang bila ada pelajar
berprestasi akan ditanya, Siapa ibunya? Begitupun sebaliknya.
Di negeri Chinapun peranan kedua orangtua
menjadi penentu hebatnya seorang anak/pelajar. Ajaran orangtua bersifat
final dan tak dapat dibantah, disiplin diri sangat ditekankan dan menjunjung
tinggi harga diri. Mengapa di negara kita yang mayoritas muslim pendidikannya
terkalahkan oleh ajaran Konfusius di China. Mungkin faktor kecerdasan dan
kesungguhan kedua orangtua Indonesia berbeda jauh dengan kultur mendidik anak
di China.
Dinegeri China dan Jepang menurut Guru Besar
Universitas Pendidikan Indonesia Prof. DR Dadang Supardan sulit menemukan
tawuran pelajar. Mereka memiliki etika yang tinggi dan semangat belajar yang
baik. Bahkan katanya , hanya dinegeri kita ada mahasiswa merasa bangga
melakukan tawuran dan merusak fasilitas kampus. Sebuah realitas yang menunjukan
anomali intelektual dilingkungan pendidikan. Apakah latar belakang
keluarga ada kaitannya? Apakah pendidikan kedua orangtua tak membekas pada
mahasiswa/pelajar seperti ini? Harus bertanggungjawabkah orangtua mereka?
Mari kita lihat mengapa kedua orangtua
bertanggungjawab atau dianggap bersalah bila terjadi tawuran pelajar. Dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 26 Ayat 1 telah ditegaskan bahwa
orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab dalam melindungi anak, baik dalam
hal mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi, maupun mengembangkan bakat
anak.
Bahkan selanjutnya dijelaskan sebagaimana
diatur dalam UUPA Pasal 77, setiap orang yang dengan sengaja melakukan
penelantaran terhadap anaknya hingga menyebabkan anak menderita, baik fisik
mental maupun sosial, dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda Rp 100
juta. Ini sebuah undang-undang yang menjelaskan tentang peranan dan
tanggungjawab orangtua adalah strategis dan fondasional.
Tawuran pelajar yang dilakukan anak-anak remaja
tak dapat dipisahkan dari peranan orangtua. Jadi Tawuran pelajar secara
langsung atau tidak, terikat dan terkait dengan tanggungjawab para
orangtua mereka. Orangtua harus introsfeksi secara bijak. Jangan hanya
“memproduksi” anak tetapi mendidiknya harus diperhitungkan dengan baik.
Menyikapi agresifitas pelajar Ketua Satgas
Perlindungan Anak KPAI M Ihsan mengatakan, “Salah satu faktor penyebab
terjadinya tawuran antarpelajar ialah ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan
kewajiban dan tanggung jawabnya dalam melindungi anak. Orangtua juga harus
diproses. Tidak adil jika semuanya menjadi kesalahan anak, seakan-akan
anak-anak hidup di lingkungan berbeda dari orangtua dan orangtua tidak punya
hubungan sama sekali dengan anaknya," Pernyataan ini menjelaskan bahwa
orangtua adalah “penanggungjawab” terjadinya tawuran pelajar.
Sekolah, Dinas Pendidikan, Pemerintah Daerah
dan masyarakat tanggungjawabnya berada dibawah kedua orangtua. Orangtualah yang
pertama akan dihisab kelak, baru kemudian yang lain. Mari para orangtua
untuk sungguh-sungguh mendidik anak sebagaimana kita sungguh-sungguh dalam
memimpikan kelahirannya. Jabatan, harta, tahta dan sesuatu yang kita
kejar nilainya tidak lebih tinggi dari seorang anak yang kita lahirkan dari
darah daging kita.
Masyarakat yang baik terlahir dari kumpulan
keluarga yang baik. Keluarga yang baik akan membidani terlahirnya para pelajar
santun, penuh etika dan berprestasi. Mengawali membangun bangsa yang besar ini
ada di internal keluarga sehingga kelak menjadi keluarga bangsa, bangsa
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar