Suroso Dasar |
MEMANG sungguh sangat ironis program kependudukan dan keluarga
berecana [KB] di negeri tercinta. Betapa tidak, program yang pernah
mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia, menjdi guru di negara sahabat,
kini relative tenggelam.
Kampus yang dulu sarat riset tentang kependudukan saat ini mati
suri. Bahkan sulit mencari literature atau skripsi maupun tesis tentang
kependudukan di fakultas ilmu social. Kurikulum sekolah pun tidak ada lagi
muatan kependudukan, raib entah kemana.
Anggaran pemerintah untuk mengatasi pertumuhan pendudukan menjadi
sedikit, hanya sekadar memenuhi persyaratan. Tidak ada sama sekali gregetnya
seperti dahulu. Berbicara KB tidak didengar orang. Seperti berbicara tak berguna.
Berteriak KB ibarat bicara dipadang pasir.
Dalam susunan Kabinet tidak ada lagi menteri yang membidangi
Kependudukan hnya digntikan dengan Kepala Bidang. Nomenklatur di Kab. dan Kota
macem-macem, masih beruntung tidak digabungkan dengan dinas pemakaman hingga
menjadi Dinas Pemakaman KB.
Begitu tragis dan ironisnya program ini direpublik tercinta. BKKBN
tunggang langgang mempertahankan program dengan biaya minim dan SDM terbatas
serta organisasi yang carut marut. Dampaknya? Secara nasional pada Lima tahun
terakhir program KB tidak bergerak.
Ancaman ledakan pendudukan [population bomb] jilid kedua sudah
diambang mata. Kalau benar itu terjadi, maka betapa sengsaranya anak cucu kita
nanti. Dengan penduduk sekitar 240 juta
jiwa saja, berbagai masalah social menerkam.
Jalanan macet, polusi, pangangguran, banjir, tanah longsor,
kemiskinan, lapar tanah dan lainnya. Bagaimana kalau prediksi tahun 2050
penduduk berjumlah sekitar 384 juta jiwa? Ke mana peradaban manusia Indonesia
akan dituju? Bagaimana standar hidup masyarakat yang lebih beradab bisa diraih.
Siapa yang mampu memprediksi secara tepat, berapa sebenarnya
kepasitas yang layak hidup di negeri ini, di Jawa Barat, atau di Bandung.
Tetapi yang pasti, ada batas maksimal dari daya dukung alam yang kita kini huni
saat ini.
Itulah yang harus Kita pertimbangkan dan melakukan akhtiar
semaksimal mungkin. Sehingga kehadiran Kita menjadi rachmat bagi semuanya,
bukan merusak dan serakah serta membinasakannya.
Sebagai makhluk social Kita harus bertanggungjawab terhadap
lingkungan kita. Mengangkat peradaban manusia kepada kelas yang lebih tinggi.
Penulis sangat sependapat apa yang ditulis oleh Barbara Ward dan Rane Dubes dalam
bukunya “Only One Eart Investasi” menutup dan mempertahankan jumlah mulut
manusia jauh lebih efektip dari pada
investasi membuat jalan dan perumahan.
Ada dasar ekonomi yang kuat untuk dikemukakan. Apabila modal itu
ditanamankan secara efektip kepada kebijakan kependudukan, dalam upaya
mengurangi percepatan pertumbuhan penduduk. Hasilnya akan memberi keuntungan
bersih yang lebih besar dan cepat, dari pada ditanamankan ketempat lain
[pisik].
Karena modal adalah bentuk tabungan, bukan konsumsi. Menekan
pertumbuhan penduduk, akan meningkatkan produktifitas. Kelebihan disimpan, dan
pengurangan konsumsi. Berbeda dengan investasi yang tidak segera meningkatkan
produktifitas dan kekayaan negara, seperti investrasi dalam bentuk fisik jalan
raya, kereta api, bendungan, dan pusat pembangkit tenaga listrik.
Semuanya memerlukan modal besar sekaligus. Sebaliknya, jika
konsumsi bisa ditekan melalui upaya menahan jumlah mulut yang harus diberi
makan, permintaan secara otomatis akan berkurang.
Banyak negara mengkhayal
dengan investasi sarana dan prasarana fisik akan menghantarkan secara cepat
peningkatan peradaban manusia. Padahal tidak, karena jalan pintasnya dengan
menekan laju konsumsi atau dengan kata lain menekan pertumbuhan penduduk,
peradaban yang lebih baik siap menanti.
Berbagai penelitian menunjukan bagaimana “Cost-Benefit” program KB
telah menghasilkan efesiensi anggaran pemerintah yang sangat luar biasa. Kalau
merujuk penelitian Prof. Ascobat Gani [Inversitas Indonesia], dengan mengasumsikan
penghematan DKI Jakarta, maka selama v 10 tahun saja Jabar mampu menghemat
sekitar 50 triliun karena tertundanya kelahiran.
Itu penghematan hanya untuk biaya kesehatan dasar dan pendidikan
dasar. JUmlah tadi juga sudah dipotong dana operasional program KB. Belum lagi
bila dilihat penghematan aspek lainnya. Bahkan dari aspek dukungan alam tidak
tergantikan.
Bukankah ini merupakan sebuah mahakarya manusia yang sangat luar
biasa? Lantas mengapa kita masih menutup mata tentang betapa dasyatnya program
Keluarga Berencana [KB] terhadap efesiensi anggaran.
Dizaman yang serba sulit begini, persoalan skala priorits herndaknya
menjadi pilihan utama. Jawabannyanya sedferhana saja, KB tidak secara langsung
terlihat hasilnya. Berbeda dengan jalan
yang licin, jembatan, atau inprastruktur lainnya. Pejabat lebih silau dengan
pembangunan jangka pendek yang biasa dinilai sebagai prestasi, dari pada
perbuatan dan melaksanakan konsep pembangunan beerkelanjutkan [sutainable
developmen].
Pejabat yang berhasil dilihat hanya dari permukaan, tidak dilihat
bagaimana dia mampu memecahkan akar permasalahan. Maka itulah, negeri ini tidak
pernah mampu mengantarkan rakyatnya pada peradaban yang lebih baik.
Sejarah perjalanan planet ini memang membuktikan, tidak ada satu
negara pun yang mampu mengangkat pembangunan dan peradaban manusianya tanpa
melakuan perlambatan pertumbuhan penduduk.
Terutama bagi negara berpendududk besar, bijakan ini sangat
kental. Dicontohkan China yang saat ini menduduki peringkat tertinggi penduduk
terbanyak, namun dalam kebijakan dalam waktu dekat akan menjadi poeringkat dua,
sementara India menjadi peringkat pertama.
Kita tidak mau belajar dari itu semuanya, karena kita sibuk
mengurus masalah hilir [pertanian, perfdagangan, industry, tenaga kerja dan
lainnya]. Padahal, inti masalah adalah masalah hulu yakni masalah penduduk yang
terabaikan.
Beberapa data yang pernah dipublikasikan di Jawa Barat selama ini,
penulis berhasil menarik kesimpulan bahwa ada signifikan antara program KB di
Jabar dengan tingkat kemiskinan. Artinya semakin baik program KB di suatu
Kabupaten Kota tertentu, semakin rendah tingkat kemiskinannya. Sebaliknya
semakin buruk program KB. Semakin tinggi tingkat kemiskinan.
Walaupun ada sekitar tiga Kabupaten yang menolak hipotesis tadi,
alasannya karena diduga “Distribution of regional income” yang timpang. Lantas
untuk pada susah payahmengusahakan IPM Jawa Barat. Karena dengan KB saja
selesai?
Persoalannya adalah, ketika awal reformasi KB begitu abai oleh
pemerintah. Sekarang sedikit agak maju. Tapi anak yang sudah lahir kan tidak
mungkin dimasukan kembali kerahim ibunya. Ayo Kita genjot program KB. Gitu aja
Koq repot…! [Suroso Dasar/ Ketua IPKB Jawa Barat]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar