Pages - Menu

Senin, 09 Desember 2013

Korelasi KB dengan Kemiskinan



Suroso Dasar

MEMANG sungguh sangat ironis program kependudukan dan keluarga berecana [KB] di negeri tercinta. Betapa tidak, program yang pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia, menjdi guru di negara sahabat, kini relative tenggelam. 


Kampus yang dulu sarat riset tentang kependudukan saat ini mati suri. Bahkan sulit mencari literature atau skripsi maupun tesis tentang kependudukan di fakultas ilmu social. Kurikulum sekolah pun tidak ada lagi muatan kependudukan, raib entah kemana.


Anggaran pemerintah untuk mengatasi pertumuhan pendudukan menjadi sedikit, hanya sekadar memenuhi persyaratan. Tidak ada sama sekali gregetnya seperti dahulu. Berbicara KB tidak didengar orang. Seperti berbicara tak berguna. Berteriak KB ibarat bicara dipadang pasir.


Dalam susunan Kabinet tidak ada lagi menteri yang membidangi Kependudukan hnya digntikan dengan Kepala Bidang. Nomenklatur di Kab. dan Kota macem-macem, masih beruntung tidak digabungkan dengan dinas pemakaman hingga menjadi Dinas Pemakaman KB.   


Begitu tragis dan ironisnya program ini direpublik tercinta. BKKBN tunggang langgang mempertahankan program dengan biaya minim dan SDM terbatas serta organisasi yang carut marut. Dampaknya? Secara nasional pada Lima tahun terakhir program KB tidak bergerak.

Ancaman ledakan pendudukan [population bomb] jilid kedua sudah diambang mata. Kalau benar itu terjadi, maka betapa sengsaranya anak cucu kita nanti. Dengan penduduk sekitar 240 juta  jiwa saja, berbagai masalah social menerkam.   
      

Jalanan macet, polusi, pangangguran, banjir, tanah longsor, kemiskinan, lapar tanah dan lainnya. Bagaimana kalau prediksi tahun 2050 penduduk berjumlah sekitar 384 juta jiwa? Ke mana peradaban manusia Indonesia akan dituju? Bagaimana standar hidup masyarakat yang lebih beradab bisa diraih.


Siapa yang mampu memprediksi secara tepat, berapa sebenarnya kepasitas yang layak hidup di negeri ini, di Jawa Barat, atau di Bandung. Tetapi yang pasti, ada batas maksimal dari daya dukung alam yang kita kini huni saat ini.

Itulah yang harus Kita pertimbangkan dan melakukan akhtiar semaksimal mungkin. Sehingga kehadiran Kita menjadi rachmat bagi semuanya, bukan merusak dan serakah serta membinasakannya.  


Sebagai makhluk social Kita harus bertanggungjawab terhadap lingkungan kita. Mengangkat peradaban manusia kepada kelas yang lebih tinggi. Penulis sangat sependapat apa yang ditulis oleh Barbara Ward dan Rane Dubes dalam bukunya “Only One Eart Investasi” menutup dan mempertahankan jumlah mulut manusia jauh lebih efektip  dari pada investasi membuat jalan dan perumahan.


Ada dasar ekonomi yang kuat untuk dikemukakan. Apabila modal itu ditanamankan secara efektip kepada kebijakan kependudukan, dalam upaya mengurangi percepatan pertumbuhan penduduk. Hasilnya akan memberi keuntungan bersih yang lebih besar dan cepat, dari pada ditanamankan ketempat lain [pisik].


Karena modal adalah bentuk tabungan, bukan konsumsi. Menekan pertumbuhan penduduk, akan meningkatkan produktifitas. Kelebihan disimpan, dan pengurangan konsumsi. Berbeda dengan investasi yang tidak segera meningkatkan produktifitas dan kekayaan negara, seperti investrasi dalam bentuk fisik jalan raya, kereta api, bendungan, dan pusat pembangkit tenaga listrik.

Semuanya memerlukan modal besar sekaligus. Sebaliknya, jika konsumsi bisa ditekan melalui upaya menahan jumlah mulut yang harus diberi makan, permintaan secara otomatis akan berkurang.


 Banyak negara mengkhayal dengan investasi sarana dan prasarana fisik akan menghantarkan secara cepat peningkatan peradaban manusia. Padahal tidak, karena jalan pintasnya dengan menekan laju konsumsi atau dengan kata lain menekan pertumbuhan penduduk, peradaban yang lebih baik siap menanti.


Berbagai penelitian menunjukan bagaimana “Cost-Benefit” program KB telah menghasilkan efesiensi anggaran pemerintah yang sangat luar biasa. Kalau merujuk penelitian Prof. Ascobat Gani [Inversitas Indonesia], dengan mengasumsikan penghematan DKI Jakarta, maka selama v 10 tahun saja Jabar mampu menghemat sekitar 50 triliun karena tertundanya kelahiran.

Itu penghematan hanya untuk biaya kesehatan dasar dan pendidikan dasar. JUmlah tadi juga sudah dipotong dana operasional program KB. Belum lagi bila dilihat penghematan aspek lainnya. Bahkan dari aspek dukungan alam tidak tergantikan. 


Bukankah ini merupakan sebuah mahakarya manusia yang sangat luar biasa? Lantas mengapa kita masih menutup mata tentang betapa dasyatnya program Keluarga Berencana [KB] terhadap efesiensi anggaran.


Dizaman yang serba sulit begini, persoalan skala priorits herndaknya menjadi pilihan utama. Jawabannyanya sedferhana saja, KB tidak secara langsung terlihat  hasilnya. Berbeda dengan jalan yang licin, jembatan, atau inprastruktur lainnya. Pejabat lebih silau dengan pembangunan jangka pendek yang biasa dinilai sebagai prestasi, dari pada perbuatan dan melaksanakan konsep pembangunan beerkelanjutkan [sutainable developmen].


Pejabat yang berhasil dilihat hanya dari permukaan, tidak dilihat bagaimana dia mampu memecahkan akar permasalahan. Maka itulah, negeri ini tidak pernah mampu mengantarkan rakyatnya pada peradaban yang lebih baik.


Sejarah perjalanan planet ini memang membuktikan, tidak ada satu negara pun yang mampu mengangkat pembangunan dan peradaban manusianya tanpa melakuan perlambatan pertumbuhan penduduk.  


Terutama bagi negara berpendududk besar, bijakan ini sangat kental. Dicontohkan China yang saat ini menduduki peringkat tertinggi penduduk terbanyak, namun dalam kebijakan dalam waktu dekat akan menjadi poeringkat dua, sementara India menjadi peringkat pertama.


Kita tidak mau belajar dari itu semuanya, karena kita sibuk mengurus masalah hilir [pertanian, perfdagangan, industry, tenaga kerja dan lainnya]. Padahal, inti masalah adalah masalah hulu yakni masalah penduduk yang terabaikan.


Beberapa data yang pernah dipublikasikan di Jawa Barat selama ini, penulis berhasil menarik kesimpulan bahwa ada signifikan antara program KB di Jabar dengan tingkat kemiskinan. Artinya semakin baik program KB di suatu Kabupaten Kota tertentu, semakin rendah tingkat kemiskinannya. Sebaliknya semakin buruk program KB. Semakin tinggi tingkat kemiskinan.

Walaupun ada sekitar tiga Kabupaten yang menolak hipotesis tadi, alasannya karena diduga “Distribution of regional income” yang timpang. Lantas untuk pada susah payahmengusahakan IPM Jawa Barat. Karena dengan KB saja selesai? 



Persoalannya adalah,  ketika awal reformasi KB begitu abai oleh pemerintah. Sekarang sedikit agak maju. Tapi anak yang sudah lahir kan tidak mungkin dimasukan kembali kerahim ibunya. Ayo Kita genjot program KB. Gitu aja Koq repot…! [Suroso Dasar/ Ketua IPKB Jawa Barat] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar