Oleh Winni Siti
Alawiah
Guru Bimbel GO
Sukabumi
“Cut!”
“Ganti adegan”
“Cut, cut. Bukan yang
itu!”
“Sudah-sudah. Pending
sampai kalian hafal skrip!”
Nada bicara yang
meninggi. Sudah tak terbantahkan lagi perintahnya. Menggeser-geserkan topi
jamurnya. Pertanda kenyamanannya sudah terusik.
“Gimana dong. Kalau
dipending terus. Apa mungkin semua pemain bisa latihan maksimal. Karna waktunya
tinggal dua hari lagi. Atau, kita ganti skrip dengan percakapan yang lebih
singkat?”
“Tidak bisa begitu
dong! Skrip tetap harus utuh. Pemain yang harus cerdas menyiasati”, satu
alisnya terangkat.
“Em, ok baiklah”,satu
tangannya memegangi kepala. Lalu menggeleng.
Memang sulit situasi
yang dihadapi para pemain teater ini. Tinggal dua hari lagi pementasan akan
dilakukan. Acara akbar yang terlalu mendadak untuk tidak diindahkan.
Lagi-lagi kesalahan
terjadi. Ini baru adegan satu dari tujuh adegan dalam cerita. Idealisme seorang
YSA alias Yudi Sofyan Anwar memlambat latihan. Sutradara dengan talenta yang
unik membuat banyak dikenal orang dikalangan teater.
Dan lusa tepat pada
perayaan seabad kota Sukabumi, talentanya dipertaruhkan. Sebuah pertunjukan
singkat nan apik, pedas, namun santai selalu menjadi ciri khasnya.
Kini sebuah naskah tak
populer diangkatnya. Sedikit aransemen pada percakapan tokoh utama wanita dan
anaknya. Fokusnya tetap, apa yang harus tersampaikan pada penonton. Natural dan
menyentuh.
“Belum! Cut!”
“Harus gimana sih? Ini
udah puluhan kali adegan aku di cut terus. Kapan majunya?”
“Mau maju? Temukan arah
hati Mayunda!”, tatapan mata Yudi menajam. Singkat namun dalam. Membuat Mona
yang berperan sebagai tokoh Mayunda merasa begitu aneh, bingung, dan penasaran.
“Arah hati? Apa
maksudnya? Baiklah. Jangan panggil aku Mona kalau aku tidak bisa menemukan arah
hati Mayunda”.
Mona berjalan menuju
meja bundar di samping kanan panggung latihan. Sebuah skrip setebal 89 halaman
diambilnya. Dengan sedikit kesal, ia mulai membukanya.
“Bisakah aku dapatkan
arah hati Mayunda disini? heh”, helaan nafas yang singkat. Dengan waktu yang
singkat dirinya mencoba membaca-baca naskah hingga selesai. Waktu berlalu
begitu cepat. Namun kerutan di keningnya menandakan, bahwa dia belum menemukan
arah hati Mayunda itu.
“Hah, apa-apaan ini!
Aku tidak mungkin kalah. Apa maksud dari arah hati Mayunda?”
Di kedua setelah judul,
terdapat lembar pendeskripsian singkat setiap tokoh. Matanya tertuju lama pada
deskripsi tokoh Mayunda.
Mayunda:
Wanita muda berusia 22
tahun. Memiliki sifat seperti bunga. Tawanya untuk pereda, diamnya untuk
penghargaan pada adat ketimuran.
“Adat ketimuran?”,
kedua alisnya hampir menyatu. Matanya memicing. Benaknya menjelajah.
Seketika pencarian di
dunia maya dengan kata kunci ‘adat ketimuran’ dicarinya. Beberapa artikel
dibaca berulang-ulang. Hingga salah satu wacana mengunci pandangannya. Tak
lama, sebuah senyum terkulum muncul.
“Gengsi, berani, egois
yang tinggi. Ya, aku mengerti itu”, beberapa kali mengangguk.
Malam itu pun Mona
segera memberitahukan Yudi bahwa dia sudah menemukan arah hati Mayunda. Sejalan
dengan semangatnya, Yudi segera mengajak seluruh pemain untuk melakukan latihan
satu babak.
Adegan dengan
bersetting taman kota, siang hari. Mona berjalan menuju ke kursi taman yang
sudah diduduki seorang pria bercelana bahan dengan pentopel yang mengkilat.
“Lama menunggu?”,
seulas senyum tersungging ke kanan. Matanya diedarkan ke segala arah.
“Ayo duduk dulu”
“Harus ya kita bicara
di taman seramai ini?”, nada jenaka muncul seketika dari mulut Mona.
Pria yang duduk di
kursi itu segera berdiri. Dan mengangguk cepat, mengajak Mayunda menuju keluar
taman.
“Terima kasih”. Kini
senyumnya mengembang ramah. Tatapan mata yang masih acuh.
“Kau bukan wanita
sombong. Aku yakin itu. Tapi ada sesuatu dalam benakmu yang kau sembunyikan
dari pandangan para pria. Betulkan?”
“Terlalu so tahu. Bukan
disembunyikan tapi dikesampingkan. Supaya kamu terus berusaha membuatnya keluar
natural.”
“Maksudmu?”
“Hanya ketulusanmu yang
dapat mengundang sabar untuk menghadapinya. Karena yang kukesampingkan sangat
hebat berkharisma. Kharisma bagi setiap wanita yang tetap bertahan dala
adatnya”
“Aku sulit mencerna
maksudmu sekarang. Tapi yang kupahami saat ini adalah egoismu bukanlah
kesombongan semata”
“Ok. Cut!”, suara
lantang nan pasti menghentikan percakapan Mayunda dan pria itu. Senyum nyata
mengembang dari bibir Yudi. Matanya menatap lekat sosok Mona yang telah merasuk
menjadi seorang Mayunda. Tokoh fiktif yang kini hidup dan berkata.
“Itu, itulah arah hati
Mayunda. Beri tepuk tangan untuk Mona!”
Semua pemain dan para
kru teater spontan bertepuk tangan. Sangat jarang seorang Yudi Sofyan Anwar memberikan
pujian dan tepuk tangan pada pemain teater. Kecuali, pemain itu benar-benar
berhasil menghayati perannya sebagai tokoh dalam cerita yang dipentaskan.
Mona pun tersenyum
lega. Hati seketika diselubungi sengatan yang segera menjalar ke seluruh aliran
darahnya. Seperti suntikan semangat. Dia semakin optimis, adegan kedua hingga
akhir akan dilewatinya dengan tepat.
Setelah adegan pertama
tuntas, Yudi menghampiri Mona.
“Bagaimana Mon? Apa
yang kau tafsirkan dari sosok Mayunda?”
“Aku tidak bisa banyak
berspekulasi. Karena yang baru aku pahami. Segala sumber ketidakpastian
sikapnya hanya karena satu alasan”
“Apa itu?” Yudi semakin
tertarik.
“Tembok yang menjulang
tinggi dalam dirinya adalah adat wanita ketimuran yang masih dijunjungnya
tinggi. Itulah sebabnya rasa egois dan mawas diri begitu lekat dalam setiap
ucapannya”
“Tepat sekali. Kau
berhasil menemukan arah hati Mayunda. Selamat Mon. Hidupkan Mayunda dalam
pentas lusa”
Anggukan begitu pasti.
Mona tak dapat lagi berkata-kata. Tangannya semakin erat memegang naskah.
Yudi dengan perlahan
menuliskan sesuatu pada halaman kedua naskah.
23 Desember 2013
Pada Mona yang
bersemayam dalam Mayunda;
Tantang apa yang bagimu
sulit, karena semua tidak akan semudah yang dipikirkan akal. Adakalanya kau
harus terpejam dan diam untuk memanggil Mayunda. Karena kekesalanmu adalah
sepersen ego dalam hatinya.
YSA (Yudi Sofyan
Anwar), dalam semesta yang ringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar