Oleh
Winni Siti Alawiah,SPd
Guru
bimbel GO Sukabumi
“Gila! Jadwal apa ini! Tidak manusiawi!”, hardiknya sembari
memandangi kertas kecil yang dipegangnya.
“Gimana Nay, jadwalmu minggu depan?”, pertanyaan menohok
yang sudah terbiasa terlontar dari kawannya Tiara.
Nayla hanya menyodorkan kertas berisi jadwal dari tangannya.
Sesaat Tiara membacanya. Tidak lama Tiara menggelengkan kepalanya.
“Ya, ampun. Jadwal apa ini!. Sabar Nay, kamu pasti bisa!”
Sudah sering Nayla diberi jadwal yang tidak masuk akal.
Tidak masuk akal karena harus mengajar di dua tempat dengan rentang waktu
istirahat yang tidak cukup untuk perjalanan.
Dirinya hanya menghela napas yang panjang. Sesaat matanya
menerawang ke atas. Dia ingat, bahwa besok dan seterusnya harus menemani
mamanya di rumah sakit. Ini benar-benar hari-hari yang sulit untuknya.
Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Kewajibannya
sangat besar. Namun semua itu bukan alasan utama baginya. Karena rasa sayangnya
yang begitu besar pada mamanyalah yang menjadi hal utama. Sekaligus pemacu
semangatnya untuk bekerja sekaligus menggantikan peran mamanya di rumah.
22-04-2014 (06.00 WIB)
“Hayo ma, di lap dulu badannya”
“Gak usah deh, mama mandi ajah”
Yah, lagi-lagi sebagai pasien mama menunjukan kekuatannya.
Mandi sendiri tanpa di temani siapa pun. Meskipun harus dengan membawa-bawa
infus. Namun itulah mama Nayla. Dokter dan suster tidak akan menyangka mamanya
sebagai pasien yang menderita penyakit jantung dan tekanan darah rendah.
Sambil menunggu mamanya mandi, Nayla membereskan tempat
tidur, lemari, dan beberapa peralatan kecil yang ada di laci. Sekitar sepuluh
menit mamanya kembali dengan wajah berseri segar. Saatnya Nayla membantu
mamanya dandan dan memakaikan wangi-wangian agar aroma tubuhnya segar saat
diperiksa.
Pukul 07.30 sarapan datang. Mama makan seperti tanpa selera.
Maklum makanan orang sakit biasana tanpa penyedap rasa, hambar. Ditambah lagi,
mamanya memang agak sulit untuk makan hingga habis. Namun dengan paksaan dan
beberapa nasehat tentang kesehatan yang disampaikan Nayla. Akhirnya makanan itu
habis juga. Obat diminumnya saat suapan terakhir.
Cahaya mentari mulai tampak. Jam tangan kuning yang melekat
di lengan kanannya menunjukkan pukul 08.30 WIB. Sudah saatnya untuk Nayla
pulang ke rumah untuk merapikan kamarnya, mengepel lantai beranda rumah, mandi
dan menyiakan segalanya untuk bekerja.
22-04-2014 (09.20 WIB)
“Wah berantakan banget. Dasar dede!”, meskipun dengan nada
sedikit kesal, Nayla tetap bersemangat untuk membersihkannya.
Sudah tiga hari dia bergantian dengan adik keduanya untuk
menjaga rumah. Sedang adik pertamanya masih di kota hujan untuk berkuliah. Mama
mengingatkan Nayla dan adik bungsunya untuk tidak memberitahu dulu keadaannya
pada adiknya yang sedang berkuliah. Mungkin mama tidak ingin adiknya itu jadi
tidak konsentrasi saat kuliah.
Nayla mandi dan segera bersiap-siap pergi bekerja.
Sebelumnya Nayla memberitahukan kepada atasannya bahwa dia izin untuk masuk
telat karena harus bergantian menjaga mama dan bolak-balik ke rumah dan rumah
sakit. Atasannya sangat maklum dan mengizinkannya.
22-04-2014 (11.00 WIB)
“Sudah bel, ya?”, tanya Nayla tergesa-gesa.
“Sudah bu. Itu anak-anaknya sudah menunggu”
Tidak banyak kata lagi, Nayla segera masuk ke kelas.
Mengajar kelas alumni persiapan masuk perguruan tinggi. Hari ini akan sangat
melelahkan karena dia harus mengajar tiga sesi dengan waktu istirahat yang
singkat, ditambah lagi dengan tempat yang berbeda.
Jam kedua mengajar masih di tempat pertama dilaluinya dengan
semangat. Namun, jam ketiga dia sudah mulai tidak enak badan. Menunggu beberapa
menit di depan parkiran. Akhirnya seorang petugas mengantarnya menuju tempatnya
mengajar untuk jam ketiga.
Dan sesuai dugaan sampai di tempat tujuan telat lebih dari
sepuluh menit. Artinya, tidak ada waktu beristirahat untuknya. Langsung masuk
kelas dengan sisa napas yang masih terengah-engah.
22-04-2014 (18.00 WIB)
Kalau Nayla langsung pergi ke rumah sakit, pasti waktu
shalat magribnya tidak akan cukup. Akhirnya dia shalat di tempat kerja. Perut
lapar sudah meraung-raung. Nasi padang di depan kantornya adalah pilihan
terakhir. Ditemani teh Putri seorang cutomer service.
Setengah jam berlalu, dan teh Putri sudah pulang dijemput
suaminya. Naylapun akhirnya pasrah menunggu pacarnya untuk menjemputnya.
Menunggu hampir satu jam adalah hal paling dibenci semua orang. Nayla pun mulai
bosan dan kesal. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang sendiri naik angkutan
umum.
Ketika akan menyebrang, sebuah motor menyalakan klaksonnya.
Ternyata pacarnya sudah datang.
“Maaf Nay. Aku ketiduran sehabis shalat magrib. Tadi ada
kerjaan sampai sore”
“Yaudah, kita langsung ke rumah sakit!”
“Jangan marah dong Nay”
Nayla hanya memaksakan senyumnya. Baru setangah perjalanan.
Ban motornya kempes. Bengkel yang tidak jauh dari jalan menjadi pilihan.
Lagi-lagi harus menunggu. Nayla benar-benar kesal dan harus menahannya.
“Maaf Nay. Kalau kamu mau ke rumah sakit duluan aku antar
sampai naik angkutan umum. Nanti aku menyusul”
Nayla tidak menjawabnya. Senyum paksaan pun sudah tidak
mungkin. Tarikan napas yang sangat panjang mencoba mengembalikan detak
jantungnya. Akhirnya, Nayla bersedia menunggu sampai ban motor pacarnya ditambal.
22-04-2014 (21.15 WIB)
“Sekali lagi maaf ya Nay. Ini diluar dugaanku”
“Iya”, jawaban singkat Nayla yang mulai meredakan amarahnya.
Ketika memasuki parkiran rumah sakit, motor pacarnya
berhenti.
“Kenapa?”
“Ya ampun Nay. Perutku bunyi, aku laper banget. Lupa, aku
belum makan dari siang. Gak apa-apa kan, kita beli makan dulu?”
“Hah. Ok ok”. Kembali Nayla menarik napas panjang dan
menahan emosinya yang mulai kembali memuncak.
Pacarnya membeli nasi bungkus di restoran padang depan rumah
sakit. Nayla merasa heran karena biasanya pacarnya selalu makan di tempat. Tapi
karena masih sangat kesal, tanpa bertanya Nayla hanya diam dan mengikutinya.
22-04-2014 (21.45 WIB)
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”, suara Ayah dan adiknya. Mereka ternyata
masih menunggu Nayla.
“Eh Ada Yudi juga. Masuk Yud”, sapa Mama Nayla ramah.
Menyalami tangan mamanya. Nayla pun duduk merebahkan
tubuhnya dekat mamanya sambil menghela napas lega, mamanya tidak apa-apa.
“Belum makan ya? Ayo makan dulu”, Mama Nayla sepertinya tahu
bahwa Yudi belum makan. Melihat nasi bungkus yang dibawanya.
“Ayo bu, pa, de, makan bareng saya beli banyak”, Yudi
menawarkan nasi bungkus yang dibawanya.
Nayla tercengang, ternyata Yudi membeli banyak nasi bungkus.
Akhirnya Adiknya memberikan piring, dan mereka makan bersama. Sedangkan Nayla
dan mamanya hanya melihat dan sesekali memakan biscuit.
22-04-2014 (22.45 WIB)
Yudi pamitan dan pergi bersamaan dengan Ayah dan adik Nayla.
Dan kembali ruangan itu sepi dan tenang.
“Cape banget ya hari ini?” tanya mamanya sambil mengelus
kepala Nayla.
“Iya ma, cape banget. Tapi udah ilang capenya sekarang liat
mama makin sehat”
“Hari ini ujiannya berat ya? Untung berhasil. Yudi baik
orangnya. Inget dia juga orang yang kerja sama capenya sama kamu. Jadi jangan
egois”
“Mama. makasih ma. Ya ini ujian buat aku. Aku gak sadar.
Tapi aku mau belajar lagi nahan emosi dan lebih pengertian sama situasi orang
lain dis ekitar aku”. Nayla tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Mamanya
memeluknya erat penuh kehangatan. Malam itu indah, meskipun melalui ujian yang
berat tapi Nayla berhasil. Ini ujian naik kelasnya yang pertama.