Winni Siti Alawiah,SPd
Guru bimbel GO
Sukabumi
|
Senyum ‘Kakek Berpeci’
Tidak terpikir
lagi bagi Widhy Siti Pahlawati
menyempatkan diri untuk sekedar menghibur diri dengan membenahi akun
twitternya. Bahkan blognya pun hanya sebulan tiga kali ia tengok. Mungkin ini
fase tersibuk bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di
salah satu universitas negeri selama kuliah.
Sudah tiga semester, Q’wied sapaan
akrabnya menjalani hidup semi mandirinya di kota kembang ini. Sudah banyak
intrik kehidupan yang membuatnya tersenyum, mengehela nafas, bahkan terharu
sampai menitikkan air mata.
Di pertengahan semester empat ini,
Q’wied bersama teman sekelasnya mengontrak matakuliah pagelaran. Matakuliah itu
yang membuatnya semakin super sibuk. Tentu saja dengan profesi barunya sebagai
pengajar bimbel, ia dituntut cerdik membagi waktu untuk latihan pagelaran dan
tetap professional dengan pekerjaannya.
“Oh tidak!!!, aku harus minta izin
lagi pada Egi”, Q’wied menghela nafas pasrahnya. Dengan keadaan seperti ini,
Q’wied hanya bisa pasrah dengan memilih kepentingan yang dianggapnya lebih
utama.
“Kenapa Wied?, kamu kan tahu sendiri
pagelaran kita tinggal satu bulan lagi. Ya, meskipun kamu hanya berperan
sebagai figuran bukan berarti kamu bisa izin tidak mengikuti latihan
terus-menerus kan!!!”, dengan tegas Egi menjelaskan
Q‘wied hanya bisa mengulum
kata-katanya yang mulai bercampur emosi. Dengan sedikit terpaksa Q’wied
menganggukkan kepalanya. “Ya Egi, aku ngerti”. Dengan berat hati Egi memberikan
izin terakhir kepada Q’wied.
“Kenapa harus kayak gini, aku benci
mereka. Mereka ga ada yang ngerti keadaan aku”, keluh Q’wied sambil berjalan
tergesa-gesa menuju kosannya untuk berganti pakaian.
“Oh tidak, udah setengah tiga aku
belum shalat dzuhur”, sudah hampir sepekan Q’wied selalu telat melaksanakan
kewajibannya sebagai muslim dan alasannya selalu karena kesibukan dan
kelelahannya.
Materi yang akan dibawanya belum ia print,
terpaksa harus pergi ke warnet dekat mesjid sebelum ke tempat bimbelnya.
“Siang
neng”, sapa seseorang dari balik pintu mesjid. Q’wied berbalik dan menjawab, “siang
Kek”. Sambil tersenyum khas Kakek berpeci hitam dan berperawakan kurus, tinggi,
dan putih itu memperhatikan langkah Q’wied.
Q’wied sudah tidak asing dengan
Kakek berpeci itu. Hampir setiap lewat mesjid Kakek itu selalu berpapasan
dengannya. Selalu tersenyum dan sedikit memperhatikan gerak-gerik Q’wied.
Tetapi meski sudah selama dua tahun kos di daerah itu, Q’wied belum mengetahui
namanya. Q’wied memanggilnya Kakek berpeci.
***
“Baik semuanya sebelum pulang kita
baca do’a dulu ya, supaya belajarnya diberkahi Allah dan ilmunya bermanfaat.
Berdo’a mulai!”
“Selesai, beri salam”, tukas Aldi,
satu-satunya murid lelaki yang ada di bimbel itu.
“Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh…!!!”
serempak semua anak dengan semangat.
“Alhamdulillah…”, Q’wied tersenyum
sendiri menuju kosannya. Ya, selalu ada bingkisan kecil yang dibuat anak-anak
itu untuk Q’wied. Senyuman yang tulus menghiasi wajah manisnya selepas mengajar
bimbel. Mungkin karena ia sangat menyukai anak-anak menjadi salah satu
faktornya.
Baru saja beberapa detik merebahkan
tubuhnya di tempat tidur, handphonenya sudah berdering beberapa kali. Empat
pesan dari Egi, semuanya berisi jadwal latihan pagelaran besok sampai hari
minggu tanpa libur. Oh… sungguh bukan hal yang diharapkan Q’wied. Tentu saja
bukan karena malas, tapi karena hari jum’at dia harus memberikan try out pada
anak-anak bimbelnya.
***
Hari Kamis, latihan pagelaran mulai
intensif dari pagi sampai sore. Lelah sudah menjadi bonus setiap pulang
latihan. Tanpa diduga Egi sebagai sutradara pagelaran menambahkan adegan baru
untuk Q’wied dan Merinda yang berperan sebagai dayang di dalam drama. Tidak
tanggung-tanggup, empat penambahan adegan di dalam drama membuat Q’wied mau
tidak mau harus semakin serius berlatih.
“Semangat ya kawan-kawan, ingat
pagelaran kita tinggal tiga minggu lagi”, teriak Egi menyemangati.
“Hey Wied, do’a kita terkabul ya.
Akhirnya kita bukan hanya jadi pemeran figuran tapi jadi pemeran kedua”,Tukas
Merinda dengan senyum jailnya.
“Oh iya ya, do’a kita terkabul”,
tambah Q’wied sambil menggelengkan kepalanya. Memang sesuai dengan harapan dan
do’a Q’wied dan Merinda yang sejak awal latihan. Bahwa mereka ingin tampil lama
di atas panggung bukan hanya menjadi figuran saja.
Tidak terasa jam tangan hitam di
tangan kirinya menunjukkan pukul 17.00 WIB. Q’wied hampir saja melupakan shalat
ashar. Dengan langkah seribunya, ia pergi menuju mushola kampus.
“Huh, hampir aku lupa untuk shalat”,
Q’wied menyandarkan badannya ke dinding. Pikirannya mulai melayang, di alam
bawah sadarnya dia sedang berjalan sendiri entah di tempat apa. Banyak
pepohonan yang rindang, di depannya ada jembatan dengan satu tali yang hampir
putus. Ketika langkahnya semakin dekat dengan jembatan, seorang kakek
menghampirinya dengan membawa sesuatu di tangan kanannya.
“Maaf nak, Kakek menyebrang duluan”,
pinta kakek itu
“Tapi Kek, saya yang datang duluan.
Saya juga ingin menyebrang”, cela Q’wied dengan tetap menahan volum suaranya.
“Coba lihat disebrang hanya ada satu
tempat tujuan. Apakah kamu yakin akan menyebrang dengan tangan kosong?”, tanya
Kakek itu sambil memandang ke arah mesjid besar di seberang jembatan.
Q’wied sesaat terdiam, lalu
memerhatikan dirinya yang tak membawa apapun seperti kakek itu yang membawa
sebuah sejadah. “Apakah aku harus membawa sesuatu untuk pergi ke sana?”, Q’wied
bernalik bertanya pada Kakek itu.
“Kau harus ingat tempat di sebrang
sana adalah mesjid. Semua orang pasti tahu mesjid adalah tempat apa”, jelas
Kakek itu dengan senyumannya.
“Astagfirullahaladzim!!!”, Q’wied tersadar
dari lamunannya. Q’weid begitu kaget dengan lamunannya itu, seperti nyata lebih
tepatnya sebuah teguran. “Tapi apa maksudnya?”, Q’wied bertanya-tanya.
***
Sekitar jam delapan malam, setelah mempersiapkan soal-soal try
out untuk besok Q’wied mulai teringat dengan sosok kakek dalam lamunannya tadi
sore.
“Ya!!! Itu kakek berpeci yang selalu
berpapasan di mesjid”, Pikiran Q’wied mulai menerawang, pikirannya dipenuhi
berbagai tebakan. Q’wied pun memutuskan untuk pergi ke mesjid itu untuk
memastikan.
“Cari siapa?”. Ibu berkerudung lebar
berjalan dari samping mesjid.
“Kakek yang sering ada di mesjid bu,
yang selalu pakai peci putih”
Sesaat tertegun, kening ibu tersebut
berkerut. Lalu berbalik berjalan menuju ruangan di samping mesjid. Q’wied
heran. Tidak sampai lima menit, ibu itu kembali dengan seorang bapak berbadan
gempal.
“Yuk masuk dulu. Kita ngombrol di
dalam biar adem”. Bapak itu mengajak Q’wied ke dalm mesjid.
“Teteh liat aki Supra?”, Suara ibu
membuka percakapan.
“Aki Supra? Siapa ya?”
“Jadi begini, sebenarnya yang sering
teteh temui di mesjid itu ciri-cirinya seperti aki Supra. Beliau dulunya marbon
(penjaga mesjid) disini”
“Dulu? Sekarang sudah tidak, Pak?”
Bapak dan ibu itu saling
berpandangan. Lalu tertunduk sebentar. Terdengar suara sedikit berbisik,
mengucap “Subhanallah”.
“Kalau boleh tahu, teteh ketemu aki
kapan?”
“Em, ada tiga kali kalau tidak
salah. Malah pernah sampai kebawa mimpi pak”
“Mimpi apa ya?”
Q’wied menceritakan tentang mimpinya
kepada mereka. Reaksi yang sama, bapak dan ibu itu menggeleng sembari mengucap
subhanallah.
Tidak terasa percakapan di dalam
mesjid itu berlangsung hampir satu jam. Q’wied pamit dan berjalan pulang menuju
kostannya. Setiap langkahnya terasa terlalu ringan, bahkan hampir membuatnya
tidak sadar terbentur batu. Yang dipandanginya hanya sebuah sejadah berwarna
hijau muda dengan bahan bludru yang lembut.
“Ini teh, titipan dari aki Supra”,
pesan terakhir dari bapak tadi terus terngiang.
“Apa ini. Siapa sebenarnya aki Supra
itu? Lalu mengapa? Mengapa….?. Aku bertemu roh, arwah, hantu?”, sadar, Q’wied
bergidik. Bulu kuduknya berdiri. Segera langkahnya dipercepat.
Sampai di kostan, badannya langsung
di jatuhkan ke tempat tidur. Adzan magrib dan saat shalat. Masih sedikit ragu
untuk menggunakan sejadah itu. Tapi memang harus digunakan, karena sejadah
miliknya masih tergantung dijemuran.
“Allahuakbar Allahuakabar
Allahuakbar!”, detak jantungnya berdetak kencang. Q’wied merasakan kesejukan
yang tiada tara. Tak ada yang terlintas dalam benaknya selain sejadah dan
perasaan tentram.
“Ya, aku paham sekarang”. Tanpa
berpikir panjang dirinya mengambil note kecil di dalam tasnya. Dibuatnya
beberapa kolom. Hal pertama yang diisi dalam kolom tersebut adalah jam shalat
lima waktu. Sisanya adalah kegiatan latihan pagelaran dan mengajar bimbel.
“Ya, ternyata aku bisa membaginya.
Konsekuensinya, jika aku telat shalat maka waktu semakin sempit dan pikiran ku
kacau. Akhirnya aku selalu mengorbankan salah satunya. Ternyata aku tidak
sesibuk selebritis. Aku baru seorang mahasiswa. Aku tidak boleh kalah. Terima
kasih aki Supra. Siapapun anda, Allah menegurku melaluimu”. Senyum tulus itu
kini menghiasi lubuk hatinya yang mulai tentram.
***
0 komentar :
Posting Komentar