Winni Siti Alawiah, SPd
Guru Bimbel GO Sukabumi
“Kurtilas bikin pusing!
Lebih baik KTSP lagi”
“Kita sudah diklat
kurikulum 2013. Lanjutkan sajalah!”
Dua pernyataan yang
terlontar dari para guru. Kini pendidikan kita dihadapkan pada dua jalan. Jalan
pendidikan yang dibuat bercabang namun tetap dengan tujuan yang sama.
Membicarakan kurikulum
berarti mengaitkan pendidikan dengan perangkatnya. Kedudukan sentral bagi
kurikulum dalam proses pendidikan. Dalam hal ini kurikulum berperan mengarahkan
segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan. Tidak
hanya bagi guru tetapi mencakup aktivitas belajar peserta didik di dalam kelas.
Berdasarkan pernyataan
di atas, jelas bahwa adanya perdebatan. Tidak hanya dari para guru, peserta
didik pun merasakan dampaknya.
Kurtilas atau kurikulum
2013 yang secara resmi diluncurkan 15 Juli 2013. Ternyata belum menjadi solusi
tepat mengatasi pendidikan kita. Betapa kesenjangan pendidikan begitu terlihat.
Kita bisa melihat sekolah-sekolah di daerah dengan di kota. Yang satu sudah
dapat dikatakan ‘melek’ internet, sedangkan yang satu masih jauh dari
jangkauan. Lalu sudah bisakah kurikulum 2013 diterapkan di Indonesia?.
Pemerintah menjawab
dengan cara lain. Yakni pemberlakuan dua kurikulum. Kemendikbud melalui Dirjen
Dikdas dan Dirjen Dikmen mengeluarkan surat peraturan bersama
nomor:5496/C/KR/2014 dan nomor:7915/D/KP/014 tentang petunjuk teknis (Juknis)
Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013 pada Sekolah Jenjang
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Juknis yang ditetapkan
sejak 22 Desember 2014 tersebut mengategorikan; sekolah yang melaksanakan
kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali
menggunakan KTSP mulai semester kedua. Sementara itu, sekolah yang telah
menjalankan kurikulum 2013 selama tiga semester tetap menggunakan kurikulum
2013.
Tentu saja bukan
jawaban yang tepat untuk perdebatan yang terjadi. Dengan poligami kurikulum
sebagai kebijakan tersebut, pemerintah belum dapat memecahkan masalah utama
yang terjadi. Permasalahan kurikulum adalah permasalan pendidikan. Permasalahan
pendidikan adalah permasalahan bersama.
Sama halnya dengan
hukum poligami yang mengharuskan adil bagi keduanya. Maka pemerintahpun wajib
adil membagi keduanya dengan segala fasilitas yang sesuai. Tidak bisa begitu
saja membiarkan sekolah memilih kurikulum mana yang akan dipergunakan. Meskipun
ada aturan sekolah yang melanjutkan kurtilas atau KTSP. Namun yang ada banyak
sekolah tentu memilih KTSP yang lebih mudah pelaksanaanya.
Pada realisasinya,
kesenjangan pun dialami para peserta didik. Mulai dari jam belajar yang
berbeda, materi dan buku pelajaran, hingga isi raport. Lalu tolak ukur kemajuan
pendidikan seperti apa yang akan dibuat untuk evaluasi kedua kurikulum
tersebut? Ini jelas harus ada dan dibuat dengan serius. Jika pemerintah berani
memberlakukan dua kurikulum maka pemerintah harus sudah siap dengan dua
perangkat evaluasi kurikulum.
Namun kenyataanya,
sudah adakah tindak lanjut untuk menengahi perbedaan kedua kurikulum tersebut?.
Menengahi
Perbedaan dengan Mencontoh
Walaupun perbedaan
keduanya amat jelas, namun sebenarnya terdapat kesamaan esensi. Dalam
pendekatan ilmiah (saintific approach)
misalnya, pada hakekatnya kedua kurikulum itu pembelajaran berpusat pada siswa.
Siswa yang mencari pengetahuan bukan menerima. Pendekatan ini memiliki esensi
yang sama dengan pendekatan keterampilan proses (PKP).
Masalah pendekatan
sebenarnya bukan masalah kurikulum, tetapi masalah implementasi yang tidak
terealisasi di kelas. Mungkin pendekatan ilmiah yang diperkenalkan di kurikulum
2013 akan bernasib sama dengan pendekatan-pendekatan kurikulum terdahulu
apabila guru tidak paham dan belum dapat menerapkannya dalam pembelajaran.
Memberikan pemahaman
pada guru di Indonesia tidaklah mudah. Dengan luas wilayah, jumlah penduduk,
dan ketidakmerataan teknologi hal tersebut menjadi sulit. Kendala-kendala harus
dipersiapkan solusinya. Tidak bisa kita dengan mudah memberlakukan kurtilas yang
jangka waktu diklatnya dengan pelaksanaanya begitu sempit. Memahamkan sebuah
perangkat seperti kurikulum bukanlah perkara memberikan permen pada anak kecil.
Rumit memang apabila
melulu dikaitkan dengan ketisiapan dan ketidakmampuan guru dan fasilitas (internet)
yang ada. Namun serumit apapun, itulah yang harus kita hadapi bersama.
Dalam hal ini kita
patut mencontoh Finlandia. Sistem kurikulum yang diterapkan negara tersebut
selalu tetap/konsisten dan jarang sekali berganti. Perbedaan pertama yang amat mencolok.
Di Indonesia bisa kita hitung sudah berapa kali kurikulum di ganti?.
Kebijakan dengan
menggunakan kurikulum yang tetap itulah yang membuat pembelajaran disana
konsisten dan semakin maju. Bayangkan saja, setiap kurikulum berganti, maka
tidak hanya proses belajar yang berganti namun secara teknis pembuatan raport
bagi para guru pun berganti.
Bijaknya, apabila
kurikulum yang kita gunakan hanya satu dan itu bukan kurikulum baru. Atas dasar
ketidakmerataan teknologi pun dapat menjadi salah satu indikator penting, bahwa
penggunaan KTSP mungkin akan lebih memudahkan seluruh guru di berbagai wilayah
Indonesia.
Fokus, konsisten, dan
maksimal dalam mengiplementasikan satu kurikulum seperti yang diterapkan
Finlandia adalah hal yang patut dicoba. Mencoba hal baik yang dilakukan negara
maju bisa jadi membuat pendidikan kita maju sesuai contoh yang dilakukan.
Indonesia muda berarti
belajar. Belajar berarti merealisasikan kurikulum. Jika kurikulum satu dan
terbaik, maka Indonesia muda ada dalam sistem yang baik.