Kala si merah
mentereng, bumiku condong
Kupu kupu tanpa
sayap
bergontai di atas
pelangi
ujung kemilau bagai
ombak, bukan bening seperti air
bumiku merona bukan
malu
untuk sepucuk hati yang telah lelah
Jarinya bergetar. Tak sempat menyelesaikan bait tak
berjudul. Masih menari diingatan. Sebuah prosesi penghantaran penuh duka.
“Sayang, cepat kembali kita akan mandikan Bimbo!”
Sedikit senyuman untuk itu. Kakinya melangkah dengan
sisa semangat. Membasuh tubuh berbulu yang mencoklat. Bulu-bulu halus tak luput dari sentuhannya.
“Kau beruntung sayang memiliki si bulu terhalus yang
cantik”
Kembali senyuman mungil itu muncul ke permukaan.
Tanpa satu kata pun. Memandikan Bimbo si bulu cantik sebagai penutup hari.
Selalu berulang tanpa ada kebosanan.
Makan malam yang senyap. Canda yang lenyap beserta
kebisuan. Suster Elien membuka percakapan antara mereka. Hanya anggukan dan
seulas senyum dari si mungil. Hingga waktu ikut terlelap dalam keheningan,
malam berlilin.
Hujan yang masih rintik rintik selama dua hari. Tak
usai membasuh hati yang pedih. Laluna gadis mungil yang sendiri. Ditinggalkan
orang terkasihnya. Suster Marnetta yang penuh cinta. Sentuhannya yang melekat
pada Laluna bayi hingga seperempat abad.
Bayangan seakan nyata. Kala tubuh mungil di
pangkuan. Bersama sentuhan lebut tangan penuh cinta. Hari-hari bagai denting
jam, berganti cepat. Setiap Luna memeluk suster Marnetta senja selalu merebut
waktunya. Suster Marnetta bersiul
bernyanyi riang,
twinkle, twinkle, little star
how i wonder what you are
up above the world so high
like a diamond in the sky
twinkle, twinkle, little star
how i wonder what you are
how i wonder what you are
up above the world so high
like a diamond in the sky
twinkle, twinkle, little star
how i wonder what you are
Sesekali tangan mungil itu menarik tangan suster
Marnetta untuk dilingkarkan ke perutnya. Kehangatan yang begitu indah bagi
Luna. Tidak akan pernah Luna bisa melewatkan saat-saat ini setu malampun.
Pernah suatu ketika Luna kesal dengan salah seorang temannya. Kata-kata
menyakitkan hati Luna, “K”
Whistle, whistle little bird
Isn't eating crumbs absurd
Try a ham and cheese on rye
And a piece of cherry pie
If those crumbs are all you want
Don't come in my restaurant
Try a ham and cheese on rye
And a piece of cherry pie
If those crumbs are all you want
Don't come in my restaurant
Luna Luna is
a small star
pretty pretty shine
Do not ever cry
there are much love for you
Semakin lama suara nyanyian semakin nyata. Mulut
mungil pun ikut menyanyi. Irama yang semakin melambat, menghilang. Arahnya ke
luar pintu. Luna terbangun. Kembali nyanyian itu berdendang. Membawa langkah
kecil semakin jauh dari tempat tidurnya. Langkahnya ringan.
Tersadar dirinya menghadang tembok besar.
Memberhentikan langkahnya. Matanya menyebar ke segala arah. Ruangan gelap
dikelilingi tembok besar tanpa jendela. “Dimana aku?”, tanya terbersit dalam
pikirannya. Sungguh tak sedikitpun cahaya lampu meneranginya. Hanya beberapa
kilatan sinar bulan yang tipis menyusup di sela-sela lubang udara.
Boneka putih terlepas dari tangan kecilnya. “Ayo
kembali ke kamarmu sayang”, suara lembut itu tak asing lagi. Luna tersenyum dan
menghampiri pemilik suara itu. Malam itu terasa singkat tanpa alunan lagu
suster Marnetta.
Hari-hari yang begitu indah, belajar membaca di
kelas dengan dinding berwarna-warni. Bernyanyi bersama suster Marnetta di taman
rose yang mulai berbunga. Mengikuti suster Marnetta ke dapur untuk mencicipi
semua masakan yang akan di sajikan untuk makan malam. Mengikuti langkah suster
Marnetta diam-diam seperti detektif. Hingga terlelap di pangkuan suster
tercintanya.
Hari yang berbeda. Seharusnya semua berkumpul dengan
wajah ceria.
“Dimana suster Marnetta?”
Pandangan suster kepala sedikit aneh. Panggilan
kasih itu membawa langkahnya menuju kamar suster Marnetta. Sosok yang dicarinya
tak ada di pembaringan. Ada seseorang yang berdiri mematung menghadap jendela.
Tubuh kurus itu dibalut gaun tidur putih berbahan sutra yang tak asing baginya.
“Anda siapa? Kenapa berani memakai pakaian
kesayangan suster Marnetta?”
Sunyi tak ada jawaban. Wanita itu sepertinya sudah
sangat tua karna warna rambutnya yang putih tergerai. Luna perlahan mendekati.
“Anda siapa?”, pertanyaan itu kembali terlontar, namun dengan nada yang lebih
sopan.
“Kau pasti sangat mengenalku, sayang”,
“Suster….”, hanya suster Marnetta yang memanggil
Luna dengan sapaan sayang. Tapi dia bukan suster Marnetta yang cantik, berbadan
sehat, dan berambut coklat keemasan. Tubuhnya tegap tidak membungkuk seperti
wanita itu.
Sosok itu membalikan tubuhnya. Wajah penuh kerutan
senada dengan rambut putihnya. Mata hijau dan suaranya milik suster Marnetta.
Itu tidak mungkin bagi Luna. Baru kemarin suster cantik itu bersamannya.
Mengapa kini di hadapannya suster terlihat sangat tua. Pasti dia bukan suster
Marnetta.
“Anda bukan suster!”
“Aku adalah suster Marnetta”
“Tidak mungkin! Wajahmu begitu tua, tubuhmu loyo
seperti orang sakit, kerutan dan rambutmu membuatku takut.”, suara Luna
terdengar parau, air mata membasahi pipinya yang bersih. Tangan ikut bergetar
menahan rasa takut. Kakinya lemas tidak bisa dibawa berlari. Berlari jauh
meninggalkan suster tua itu.
“Sayangku. Kau perlu tahu. Aku sudah tua. Sudah
banyak waktumu yang terbuang sia-sia. Ulang tahunmu esok adalah kedua belas
kalinya tanpa aku. Kembalilah bersinar seperti bintang. Sayangi suster yang
sekarang merawatmu. Aku akan tetap melihatmu dari kejauhan”.
Seberkas cahaya terang tiba-tiba menyergap. Perlahan
mata Luna terbuka. Ruangan asing. Di dominasi rak besar berisi buku. Sebuah
meja kokoh dan sebuah kursi kerja. Seorang perempuan duduk menatapnya dari sofa
di samping rak besar.
“Akhirnya. Selamat datang Luna”, suara merdu
disertai senyuman dari perempuan itu.
Luna berdiri dan segera dibantu perempuan itu.
Perempuan itu memapahnya. Memberikan luna segelas air putih. Dan tidak lama
perempuan itu mengantarkan Luna menuju sebuah cermin besar.
“Hah! Inikah aku? aku Luna?”, dirinya masih tidak
mengerti. Tubuh yang ada di cermin itu tinggi dan ramping. Rambut hitam yang
sedikit bergelombang. Mata hijau yang masih bening. Bibir tipis yang masih
mungil. Jemari yang panjang dan lentik.
“Ayo duduk”.
Dokter Arine. Perempuan itu adalah seorang ahli
jiwa. Dialah yang berkeras hati untuk mengembalikan Luna pada dunia nyata. Luna
telah sebelas tahun terbuai dalam dunia mimpi. Kecintaan akan suster Marnetta
membawanya pada kegilaan. Hingga dirinya lupa akan pertumbuhan dan kematian
suster Marnetta.
0 komentar :
Posting Komentar