Oleh Winni Siti Alawiah,SPd
guru bimbel go sukabumi
Diskusi
hari ini di tutup dengan sebuah wejangan senior. “Peka dan bergeraklah selama
itu benar dan bisa diperjuangkan!”. Sungguh penuh semangat. Terutama bagi
mahasiswa tingkat akhir seperti Rekas.
Lelaki
yang berproses menuju dewasa. Dengan perawakan jangkung kecilnya. Pangkat
sekjen (sekertaris jendral) sebuah unit kemahasiswaan yang bergiat di bidang
politik. Kepiawaian merangkai kata-kata, andalannya. Hampir sempurna membentuk
sosok mahasiswa militan yang berjiwa sosial.
Sudah
berlalu tiga tahun. Situasi mencekam yang hampir mendepaknya dari kampus.
Persoalan parkir berbayar yang kini belum dapat di wujudkan. Sungguh miris,
jika parkir saja di sebuah kampus berlabel ‘negeri’ harus berbayar. Hitungan
jam dan portal otomatis buatan luar negeri sudah di gadang-gadang dapat
menertibkan lalu lintas kendaraan kampus. Nyatanya, sangat tidak diharapkan
oleh mahasiswa. Rekas pun bereaksi, konsolidasi, rapat besar, hingga pencarian
data secara terselubung di lakukan. Demi mewujudkan ‘demokrasi dan keadilan’.
Pada
puncaknya, semua tergerak mewakili semua fakultas. Membawa aksi hingga ke
rektorat. Berdiskusi namun nihil akan mufakat. Hingga, penyabotasean terjadi.
Penyebaran pamflet mengatasnamakan UKM, ditanggungjawabi Rekas sebagai sekjen. Lantang
menuliskan “Segala bentuk kehilangan (kendaraan dan helm) di tanggung sekjen”.
Lengkap disertai nomor kontak Rekas.
Hari
itu menjadi amat rumit, banyak pesan masuk ke telepon genggamnya. Kekhawatiran
tak hanya menyelimuti Rekas dan kawan-kawannya, terlebih melibatkan
keluarganya. Ibunya yang tidak sengaja membaca pesan berupa ancaman. Pandangan
yang semakin menyudutkannya. Keputusan pun diambil. Rekas diasingkan keluar
kampus untuk beberapa hari. Dengan pengawasan senior berpengalaman.
Sementara
yang lain mencari tahu pelaku, Rekas mulai bangkit. Ternyata ada penyusup saat
konsolidasi. Dengan bayaran dua juta saja, seorang berubah menjadi pengkhianat.
Meskipun tak sepenuhnya sesuai harapan. Pada akhirnya parkir berbayar tidak berjalan
sesuai keinginan birokrat.
Itu
tiga tahun yang lalu. Namun besar berpengaruh bagi Rekas Nugraha. Mahasiswa
pendidikan bahasa yang telah banyak menyuarakan opininya di berbagai media
massa.
“Selama
menjadi mahasiswa, harus bisa berkarya, dan membantu mahasiswa lain yang
membutuhkan pertolongan!”. Itu yang selalu diucapkan dan membangkitkan
semangatnya.
Baru
saja diskusi hari ini selesai. Seorang lelaki berjas biru dongker dengan wajah
tertekuk menghampirinya.
“Wah,
ini benar-benar pelik! Memalukan!”
“Ada
apa Gih? Ceritakan, jangan mencerca sendiri!”
Dengan
nada penuh kesal. Panggih menceritakan kronologinya. Pergi ke mesjid kampus
seperti kebiasaannya untuk menuntaskan kewajiban religiusnya. Meninggalkan
petaka. Sepatu baru yang di simpannya di loker penyimpanan hilang. Mencari tahu
hingga ke ruang pemantau, melihat gambar di cctv. Ternyata, telah terjadi
kejahatan yang terindikasi oleh orang dalam.
Ada
menit yang hilang dari gambar cctv. Menit hilang yang bisa menunjukkan siapa
pelaku pencurian sepatu itu. Pihak terkait mengelak telah terjadi pencurian
yang dilakukan oleh orang dalam. Penolakan demi penolakan seolah menjadi
pembelaan tak terbantahkan. Tanpa dukungan, Panggih mundur sejenak mencari
alternatif pemecahan dan bantuan.
“Ini
perlu penanganan serius. Tidak bisa dianggap sepele. Bukan karena aku
kehilangan sepatu baru, tapi bentuk kehilangan itu yang sudah berulang kali
menimpa mahasiswa!”
“Ya,
ini perlu ditindaklanjuti!”, anggukan Rekas begitu pasti dan tegas.
Malam
itu juga Rekas membuat jaringan pencari data. Dan memang kemarin tidak ada satu
pun penjaga yang bertugas di loker penyimpanan. Tapi tentang kehilangan yang
sering terjadi benar adanya. Beberapa orang itu adalah teman Rekas sendiri.
Kehilangan
komputer jinjing, sepatu, sandal, hingga payung. Cukup membuat geram. Saran
Rekas untuk membuat surat pembaca. Menuangkan keluhan agar mendapat tindak
lanjut yang serius dari pihak kampus. Panggih tanpa ragu menuangkannya dalam
surat pembaca yang dikirmnya ke koran kampus.
Surat
pembaca itu berhasil menjadi umpan. Panggih ditemani Rekas di panggil menghadap
kepala keamanan. Kantor pusat keamanan seketika menjadi kantor kepolisisan.
Dengan terdakwa pelapor yang seharusnya mendapat tindak lanjut tentang
kasusnya.
Stand up comedy berdurasi
tiga puluh lima menit. Panggih di kecam dengan tudingan membuat pernyataan yang
tidak benar dalam surat pembaca. Penggalan pernyataan tertulis Panggih yang
mendasari kecaman itu ‘Kehilangan yang sudah beberapa kali terjadi menimpa
mahasiswa. Mulai dari kehilangan sepatu, sandal, komputer jinjing, payung,
hingga kendaraan. Seolah hanya menjadi sentilan kecil yang kurang dihiraukan.
Semestinya tempat ibadah menjamin kemanan semua orang yang akan beribadah.
Bukan sebaliknya, kekhawatiran akan kehilangan barang-barangnya’.
Garis
bawah untuk kata ‘kendaraan’ memacu kecaman kepala keamanan. “Seharusnya
sebagai mahasiswa bisa lebih cermat menuangkan kata-kata. Setahu saya dan semua
pihak keamanan, belum pernah ada laporan kehilangan kendaraan. Kalau yakin ada,
coba tolong perlihatkan buktinya!”.
Panggih
tersudut. Bukan karena pernyataannya salah dan bohong. Namun bukti yang dapat
menunjukkan kehilangan kendaraan itu tidak bisa diperlihatkannya. Rekas
berusaha menengahi dengan mengembalikan arah pembicaraan pada titik awal.
Keluhan Panggih tentang kehilangan sepatunya. Tidak ada solusi atau sekedar
permohonan maaf. Panggih meninggalkan kantor keamanan dengan perasaan takut
akan kecaman ketua DKM dan ketua keamanan kampus.
Rekas
terus menguatkan dengan berbagai pandangannya. Semua ini hanya persoalan
‘pencitraan’. Tidak ada pihak kampus yang ingin tercoreng setitik noda pun. Meskipun
pada persoalan ini, Panggih memang tidak bisa sepenuhnya di benarkan.
Kecerobohannya menuangkan beberapa persoalan dalam satu momen. Seharusnya
persoalan kehilangan kendaraan yang dialami alumni tidak dulu di munculkan.
Hebat,
selang dua hari Panggih menerima surat peringatan. Perlakuan macam apa ini.
Rekas menggeleng setelah membaca surat peringatan itu. “Bukankah surat pembaca
biasa dibuat untuk sebuah keluhan. Justru dengan keluhan itu, pihak yang
dikeluhkan mendapat perhatian dan bisa memperbaiki kinerjanya”. Baru saja
kemarin tetangga Rekas yang membuat surat pembaca di sebuah surat kabar
nasional. Keluhan tentang kutu pada beras yang dibelinya di sebuah supermarket.
Hari itu juga pihak supermarket mengirimkan beras baru sebagai ganti rugi pada
pelanggannya.
Sepertinya
hal itu tidak berlaku di lingkungan pendidikan yang telah komersil ini. Terlalu
‘jaim’ sepertinya untuk mengakui kelalaian. Terlalu ‘sepele’ untuk mengganti
rugi kehilangan yang tidak seberapa.
Rekas
dibantu teman-temannya dari BEM mencoba menangani kasus yang sedang dihadapi
Panggih.
“Waspada
ya Gih. Kita harus lebih cermat melihat peluang dan kondisi. Jangan biarkan
tamparan kecil ini menyingkirkanmu”
Kemelut
di ranah pendidikan komersil ini seolah tak pernah surut. Belum selesai
persoalan Panggih. Gedung terhormat di penuhi mahasiswa yang melakukan aksi
penolakan dan solidaritas. Muhammad Sahroni, mahasiswa ekonomi terancam di drop out. Alasan yang seolah dibuat
terencana. Sahroni belum membayar setengah uang pembangunan. Penangguhan
membuatnya terbebas sementara. Lucunya tak ada pmberitahuan atau sekedar
peringatan, untuk mengingatkan Sahroni tenggang waktu pembayaran.
Bukankah
dengan adanya peringatan sebelumnya, Sahroni memiliki waktu untuk mengumpulkan
uang. Melunasi uang pembangunan. Terbebas dari drop out. Apakah ini sebuah kelalaian pihak administrasi yang tidak
peka. Terlalu menyepelekan jumlah uang yang sebenarnya begitu besar bagi
seorang mahasiswa daerah seperti Sahroni.
Rekas
sigap dan segera menemui rektorat kemahasiswaan untuk melakukan lobi dan
diskusi. Banyak hal yang dibawa sebagai data dan bukti. Hari itu dia dan
kawan-kawannya sedikit beruntung. Salah seorang dosen di bagian humas, mantan
mahasiswa yang dulu aktif bergiat di bidang sosial dan kemahasiswaan membantu.
Melancarkan proses lobi. Menemukan titik temu yang berpihak pada Sahroni. Sebuah
label bergengsi ‘kebijakan’ turun. Memberikan kelonggaran waktu pembayaran sisa
uang pembangunan dan drop out pun tak
akan terjadi.
Sedekiti
udara segar. Kembalinya Sahroni di kampus, menyunggingksn senyum pada wajah
Rekas. Kini dirinya masih bertanggungjawab atas masalah Panggih. Pecitraan yang
semakin kental akan perebutan kekuasaan. Hari senin yang begitu panas itu,
membawa berita hebat. Sebuah opini di koran nasional terbit. Tulisan seorang
bertahta dengan judul, Loyalitas Finansial bagi Mahasiswa.
Wow.
Kata yang sulit menjabarkan perasaan Rekas saat itu. Sementara di kolom yang
sama dalam koran lokal seolah menabuh genderang. Hak Bicara Mahasiswa, Bukan di
Orde Baru. Inikah manipulasi keadaan para petinggi di ranah pendidikan itu?.
0 komentar :
Posting Komentar