Rabu, 27 April 2016



Deden Dendayasa
Sebagai sebuah nama yang berbau sunda, mungkin nama deden sangatlah jamak kita dengar, bahkan kalau dikumpulkan nama deden di seluruh dunia jumlahnya akan ribuan. Namun mendengar nama Deden Dendayasa bagi saya menjadi tidak jamak lagi, bahkan bagi telinga dan mata batin saya nama Deden Dendayasa terasa sangat indah dan “musical”. Tak perlulah kiranya kita mencari tahu kenapa orang tuanya dulu menamakannya Deden Dendayasa, atau makna filosofis apa yang melekat pada namanya itu sehingga kita dapat mengetahui keinginan dan do’a orang tuanya dengan penamaan anak tersebut kelak dikemudian hari. Biarlah itu menjadi hak orang tuanya semata dan kita tak usahlah mencampurinya lebih jauh.

Pertanyaannya, apakah tabiat dari seorang Deden Dendayasa (selanjutnya kita sebut Bung DD saja) seindah dan se-musical namanya? Mungkin akan ada jawaban ya dan tidak, tergantung seberapa dalam orang mengenal beliau dan seberapa jauh penghayatan seseorang terhadap keindahan hidup. Saya pun tidak akan menjawab secara lugas dengan jawaban ya dan tidak, saya hanya akan menjawab melalui beberapa ulasan dan diskripsi berikut.

Saya tidak tahu latar belakang kehidupan Bung DD, dia lahir dimana, bapaknya siapa dan apakah dia berasal dari golongan ningrat atau golongan cacah biasa saja seperti saya. Namun saya berani bertaruh, orang tuanya terutama bapaknya, nampaknya mempunyai selera tentang keindahan hidup yang lumayan tinggi. Dengan menamakan anaknya Deden Dendayasa, sepertinya bapaknya itu mempunyai minat terhadap seni budaya bahkan beliau mendudukannya pada maqam yang terhormat. Orang seperti ini bila mendalami agama, umumnya tidak akan berdebat berkepanjangan masalah fiqih, tetapi mereka akan sangat bergairah dengan masalah spiritualitas dan tasauf.

Ah, saya kok jadi ngelantur membahas bapaknya Bung DD, padahal belum tentu juga beliau seperti itu, toh saya samasekali tidak mengenalnya dan hanya mengira-ngira saja. Tetapi sesungguhnya tidak salah juga bila kita ingin memotret seseorang dengan merujuk pada nasabnya. Saya termasuk yang percaya bahwa ada banyak hal dalam diri atau tubuh kita, baik yang berupa hardware maupun software, bersifat genetik, diturunkan dari orang tua.

Banyak orang mengenal Bung DD dengan perawakannya yang kurus kerempeng sebagai seorang perokok ulung. Ajaibnya, kegemarannya dalam menghisap rokok tidak lantas membuat tubuhnya menjadi sakit-sakitan. Selama saya kenal lebih dari sepuluh tahun tak pernah saya melihat dia  mengalami sakit yang cukup merepotkan. Tapi bukan berarti bahwa saya percaya rokok tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Dalam hal ini saya sami’na wa atho’na dengan warning dari Kementerian Kesehatan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Saya sendiri sudah berhenti merokok sejak lima tahun lalu dengan pertimbangan lebih banyak madarat ketimbang manfaatnya.

Lalu kenapa si tubuh kurus kerempeng dengan rokok yang tak pernah berhenti mengepul itu tetap menunjukkan vitalitas dirinya? Mungkin jawabannya terletak pada semangat dan cara dia memandang hidup.

Bukan bermaksud sombong bahwa dari pertama saya menjadi PNS Pemda Kota Sukabumi tahun 2003, sebelum apel pagi saya relatif selalu sudah berada di kantor. Rata-rata pukul tujuh lewat sepuluh menit saya sudah tiba di pintu belakang Kantor Pemda Jalan Dewi Sartika. Demikian halnya dengan pulang kantor rata-rata jam empat sore kurang sedikit saya pulang, tapi ada kalanya juga pulang jam lima atau setengah enam sore. Namun hebatnya, masalah jam kantor ini saya selalu “kalah bersaing” dengan Bung DD. Bila saya datang pagi-pagi, Mobil Suzuki Carry Biru dengan tagline JEKREM yang mencolok, pasti sudah nongkrong di belakang Kantin Pemda. Demikian halnya sewaktu pulang kerja, betapapun saya pulang setengah enam sore, Mobil JEKREM pasti masih setia menunggu tuannya di area parkir Pemda. Konsistensi dalam bekerja ini tetap berlangsung hingga hari ini, detik-detik menjelang dia pensiun tanggal 1 Mei 2016 nanti.

Inilah makna semangat hidup yang dihayati Bung DD, semangat mengabdi pada Tuhan dan bekerja untuk memuliakan sesama manusia dan lingkungannya. Saya tidak percaya semangat dan disiplin dia dalam bekerja termotivasi oleh pujian atasan atau dalam rangka meraih jabatan. Apa yang dia harapkan, toh dia beberapa hari lagi pensiun? Kenapa mesti harus semangat bekerja? Bagi orang yang berpikiran jangka pendek dan jangka menengah perilaku Bung DD yang selalu semangat bekerja mungkin suatu kesia-siaan belaka karena tak akan berefek apapun pada materi. Tapi manusia jangka panjang seperti Bung DD ukurannya tidak semata-mata materi tapi integritas, baik kepada pimpinan, institusi maupun masyarakat. Lebih dari itu dia ingin mempertanggung jawabkan apa yang dia dapatkan baik berupa gaji, kesehatan, fasilitas dan seluruh karunia yang tak terbilang kepada Tuhan.

Di luar kebiasaan dia merokok, vitalitas hidup dan disiplin bekerja, saya melihat Bung DD sebagai sosok yang haus ilmu, terutama ilmu agama. Maka tidak heran, bagi dia menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah terbaik menjadi prioritas utama, bahkan si sulung telah menyelesaikan sekolahnya di Universitas Al-Azhar Mesir, salah satu universitas tertua dan prestisius di kalangan dunia Islam.

Sebagai seorang yang tak henti belajar, dia akan terus menerus bertanya dan berkomentar kritis khas seorang mahasiswa tentang berbagai persoalan, terutama yang berhubungan dengan perilaku keagamaan. Bak seorang filsuf atau seorang sufi, persoalan yang sesungguhnya sederhana, dia kupas secara mendalam bahkan bisa melebar kemana-mana yang bagi sebagian orang akan terasa sangat membosankan. Dari beberapa obrolan di sela-sela pekerjaan kantor atau selepas shalat Dzuhur berjamaah di Masjid Al-Ikhlas Pemda, saya menangkap bahwa Bung DD sangat concern dengan ilmu kalam atau tauhid. Meskipun hanya obrolan ringan, bila sudah menyangkut tauhid maka sorot mata dan tekanan nada bicara akan berubah serius. Supaya obrolan tidak semakin berat, biasanya saya mengalihkan ke topik yang lain, atau kadang-kadang dia sendiri menurunkan tensi obrolannya agar menjadi ringan.

Sebagai seorang yang gemar mengobrol, pergaulan dia meretas panjang dari mulai kalangan pejabat, staf pemda, tokoh LSM hingga kalangan wartawan dan semuanya berkawan baik tanpa menghilangkan eksistensi dirinya sebagai salah satu Kepala Seksi di Kantor Kominfo.

Sebentar lagi sosok kurus kerempeng yang selalu tidak terlepas dari rokok itu, tidak akan lagi berlalu lalang di area Pemda Kota Sukabumi. Bagi orang yang suka shalat berjamaah Dzuhur atau Ashar di masjid Al-Ikhlas Pemda, maka akan kehilangan sosok ini. Dengan peci yang agak nyengsol, sehabis salam-salaman sesama Jemaah biasanya dia akan mengambil tempat di sudut belakang masjid untuk terus melanjutkan wiridan dan melantunkan puji-pujian kepada Tuhan. Dengan tubuh yang agak membungkuk dan khusu’ terlihat dia sedang “berdialog” dengan Tuhan, atau mungkin sedang melafalkan do’a-do’a yang saya sendiri tidak tahu apa isi do’anya.

Selamat memasuki dunia pensiun Bung Deden Dendayasa, selamat menikmati hidup. Dunia begitu luas dan amatlah indah, nikmat Tuhan bertebaran di setiap sudut semesta. Saya akan sangat kecewa bila orang seperti anda mengalami post power syndrome. Saya yakin, bila suatu saat kita bertemu, anda akan berwajah cerah, tetap bersemangat dan tertawa lebar, mungkin masih ditemani sebatang rokok. Namun bila saat bertemu itu anda terlihat seperti sedang meratapi nasib, maka saran saya berhentilah mendalami spiritualitas dan tasauf, dan tanggalkanlah nama Deden Dendayasa, karena nama itu terlalu indah bagi seseorang yang kerjanya hanya meratapi nasib.

Sukabumi, 27 April 2016.

1 komentar :

  1. Saya sering mendengar sosok ini melalui obrolan abang saya wartawan Sukabumi Pos, Robin. Abang suka bercerita sosok PNS Kota Sukabumi sebagai pribadi yang kalem dan supel dalam bergaul.

    Saya tidak kenal Bung Krempeng ini ( jadi inget dengan julukan abang Robin ke saya )Tapi dari paparan yang abang ocehkan setiap ketemu saya di Bogor, pasti nama Deden Dendayasa semacam kaset pagujud, selalu dia ulang2 dengan bangganya kepada sosok ini.

    Saya ucapkan selamat menjalani masa pensiun, apa boleh dikata, orang semacam kita ( PNS ) pasti ada masa pensiunnya. Benar seperti kata tulisan diatas, nikmati saja apa yang telah Allah berikan kepada kita sebagai nikmatNya masa istirahat berbakti kepada negeri.

    Kahatur Kang Deden Dendayasa.

    Cag .

    BalasHapus