Dudung Koswara, M.Pd
Sukabumi,
Cendikiawan
muda Aceng Jaelani menyatakan, dunia ini adalah realitas tabung
ajal. Semua manusia yang ada dipermukaan bulatan bumi ini hakekatnya sedang menunggu ajal menjemput. Ajal itu pasti namun amalan seseorang belum
pasti terhimpun dengan baik. Hidup yang sementara ini sebaiknya dimanfaatkan
dengan penuh kebaikan. Ketika kematian itu pasti menjemput kita maka yakinkan dengan pasti bahwa kita cukup amal kebaikan.
Ungkapan bijak
lain menyatakan , tidaklah penting berapa lama kita hidup namun yang jauh lebih penting adalah
seberapa banyak kita menghirup nafas
kebahagian dalam hidup. Seberapa banyak
aktifitas yang bermanfaat dan membuat
kita, sekitar kita dan keluarga kita memetik bahagia. Kebahagiaan yang ditopang
rasa syukur yang baik akan “mengabaikan”
waktu lamanya hidup.
Kematian itu
pasti namun kebahagiaan itu yang tidak
pasti. Bahagia itu butuh proses, mati
itu tidak identik dengan proses. Hidup yang diberikan Tuhan adalah sebuah
kesempatan untuk memaknai, menikmati dan berbuat terbaik untuk kehidupan yang
lainnya. Tuhan bukan “sesuatu” yang
kejam dan tak mengenal ampun. Tuhan
pengasih dan penyayang. Tuhan tidak
identik dengan pemberi azab dan pemusnah kebahagiaan. Tuhan adalah penumbuh,
pemelihara benih-benih cinta yang mengangkat derajat kemanusiaan manusia.
Bersama Tuhan kita bahagia, bersama Tuhan kita sukses, bersama Tuhan kita
kembali.
Prof Dr HM Rasjidi
mengatakan, “Hidup dari rahmat Tuhan,
mencari rahmat Tuhan dan kembali pada rahmat Tuhan”. Sekali lagi hidup adalah
siklus indah yang dibingkai oleh nurullah. Hidup penuh energi Tuhan yang melekat dalam syaraf dan darah
kita. Bersama Tuhan kita tak bermasalah, bersama Tuhan kita berkah. Jauh dari
Tuhan kita payah, jauh dari Tuhan kita sumber masalah.
Sungguh
indah sebenarnya hidup ini. Tuhan siapkan segalanya dan Tuhan pelihara
segalanya. Bahkan tubuh kita ini Tuhanlah yang terus menjaga dan melindunginya.
Dalam ajaran agama yang kita pahami,
kita (manusia) adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna dan paling disayanginya.
Setiap saat bahkan tidak ada saat yang lepas dari energi kasihnya.
Pada saat
kita tertidur Tuhan tetap menjaga helaan nafas kita, pada saat tertidur Tuhan
mengedarkan darah kita, pada saat tertidur Tuhan istirahatkan otak kita, pada
saat kita terluka Tuhan menyembuhkannya.
Tuhan telah mempersiapkan segalanya bagi kita, tinggal kita mau
berproses menjemput anugrahnya. Bahkan bukankah manusia diciptakan Tuhan
setelah segalanya di muka bumi ini
diciptakan? Artinya Tuhan telah memfasilitasi segala keperluan manusia. Dalam
ayat-ayat kauniyah (geologi dan acheologi) secara faktual jelas bahwa Tuhan
mempersipakan segalanya sebelum manusia ini diciptakan-Nya.
Masalah
kematian sebenarnya adalah masalah pemebelajaran paling “ekstrim” terhadap
manusia. Mengapa demikian? Karena kematian akan memberikan pembelajaran
terhadap kesombongan manusia yang terkadang ingin hidup abadi. Orang yang
beriman saja pasti ingin hidup bahagia
dan abadi. Apalagi orang yang menapikan Tuahannya. Maka tanpa kematian
bagi manusia yang lalim __apalagi bila
Ia memegang kekuasaan__ dapat mendatangkan bencana kemanusiaan.
Kematian
bagi manusia yang lalim dan pembawa bencana adalah anugrah bagi kehidupan yang lain. Sebaliknya
kematian bagi manusia yang soleh dan
penuh manfaat bagi kehidupan manusia yang lain adalah pembelajaran bijak yang
adiluhung. Segalanya menjadi
pembelajaran tidak hanya yang tertuang dalam ayat quraniyah melainkan dalam
ayat kauniyah juga. Ayat-ayat “realitas” menjadi penguat pemahaman kita pada
idelaitas kehidupan yang semestinya.
“Tiap-tiap
umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
(QS. Al A’raf: 34). Firman Tuhan
ini menjelaskan pada kita bahwa ajal akan menjemput semua manusia dan tidak ada
yang mampu merubah “jadwal” kematian kita, sekalipun memundurkannya. Jelaslah
bagi kita bahwa ajal seseorang adalah sebuah misteri yang pasti. Misteri, kita
tidak tahu kapan akan dijemput. Pasti, karena semuanya akan mendapatkan
kematiannya.
Allah
sangat mencintai manusia dan Ia melahirkan kita, memberi kehidupan pada kita
dan “memanggil” kita kembali pada-Nya. Ini sebuah siklus rahmat dari yang maha
cinta. Siklus kehidupan ini bergerak
terasa cepat, sayang seandainya terlalu banyak perbuatan buruk yang kita
lakukan. Sebaiknya kita mawas diri dan
terus meningkatkan semangat hidup dengan taburan manfaat pada alam sekitar.
Semua
manusia berpotensi melakuan berbagai hal termasuk perbuatan keburukan (dosa) dan perbuatan yang baik
(amal). Hidup kita berada diantara tantangan-tantangan yang menggoda
dan penuh cobaan. Bukankah seorang Akil Mochtar, Rudi Rubiandini, Luthfi Hasan
Ikhsan dan Ahmad Fatanah dulunya orang baik-baik? Mereka adalah orang pintar
dan muslim yang baik pada awalnya?
Perjalanan
hidup terkadang membawa seseorang (kita) menjadi semakin mulia atau menjadi semakin terhina.
Kemampuan menimbang, memilih dan menentukan jalan mana yang kita tempuh banyak
ditentukan oleh sejauhmana kesadaran kita. Ungkapan bijak menyatakan, sadar
tahu segala, kurang sadar banyak yang lupa dan tak sadar lupa segalanya. Sadar,
terkadang sadar dan tak pernah sadar adalah bagian dari “wajah” manusia.
Sungguh
keberuntungan itu tidak ditentukan oleh jabatan, harta, tahta dan wanita.
Keberuntungan itu lebih pada sejauhmana kita berbuat penuh manfaat pada
kehidupan dengan membawa kepuasan bathin.
Kepuasan bathin adalah dimensi spiritualiatas. Dimensi spiritualitas itu
menurut penulis lebih dekat pada dimensi Tuhan. Jadi kebahagiaan itu terletak
pada dimensi spiritulitas bukan pada dimensi materialitas. Materialitas itu
identik dengan mahluk. Sementara spiritualitas itu identik dengan kedekatan
pada pencipta, Tuhan yang maha kasih.
Mungkin dimensi spiritualitas itu dalam agama Buda
identik dengan dimensi Moksa. Suatu
realitas yang sudah tidak tergoda lagi oleh nafsu keduniawiaan yang murah dan
sebenarnya maya. Dimensi Moksa dalam agama Buda adalah dimensi transisi menuju
surga. Sebagai manusia biasa kita sebaiknya memahami kehidupan lebih baik
setiap harinya. Semakin kita memahami hidup maka kita akan merasakan indahnya hidup. Semakin
kita merasakan indahnya hidup yang ditopang rasa syukur maka kita akan semakin
mempertumbuh spiritualitas kita.
Setidaknya
setiap hari bertumbuh lebih baik walaupun sedikit. Mari kita maknai hidup,
nikmati hidup dan cintai pemberi kehidupan. Hidup penuh makna, hidup penuh
nikmat dan saling mencintai dengan sesama dan Pencipta akan lebih baik. Semoga
keterbatasan dan kebodohan kita tidak menjadikan kita nampak bodoh dihadapan
Tuhan untuk merangkul dan memeluk rahmat-Nya. Tuhan I love you. God I love life and want for your love.
0 komentar :
Posting Komentar