Sukabumi,
GELAR
BUDAYA kelangan siswa dari Sukabumi dan Jepang, bagian tak terpisahkan jelang
perpisahan dalam study tour dua hari semalam itu ada Jaipongan dengan 5
penarinya dan seni tradisional lainnya Angklung. Siswa/wi Jepang juga
membalasnya tapi kurang atraktif.
Awalnya 6 siswa SMA Oisca Hamamatsu,
Jepang itu datang keruangan dengan seragam sekolah mereka. Tapi dalam waktu 10
menit mereka kembali tapi sudah berpenampilan beda. 6 Gadis Jepang itu berbalut
Kimono, tapi tak terkesan feminism seperti kain kebayanya Sunda.
Ada gadis sedikit gemuk, dia
masuk GOR SMA tertua itu dengan gagahnya. Nilai feminimnya mojang Priangan sama
sekali tak nampak, malah jika dibandingkan ibarat langit dan bumi. Gadis berkimono musim
dingin itu lebih mirip atlet sumo. Juga kelima gadis lainnya.
Seorang guru olahraga yang duduk
sebelah tapi enggan ditulis jatididirinya itu berbisik. “Mungkin mereka belum
banyak tahu tentang etika berkimono. Beda jauh dengan anak-anak Kita meski
berpenampilan modern, tapi etika berjalan dengan kain dan kebayanya harmonis.”
Terlepas dari itu semuanya
menurut Beti Karliati alumni IPB Bogor pembimbing siswa dalam program study
tour dan Homestay itu menuturkan, Jepang
memang mudah dipengaruhi budaya luar. “Jika
tak terpaksa tak bicara Inggris, mereka kuat berpegang pada akar budayanya.”
Kalau disimak lanjut Beti
Karliati, Kimono yang dikenakan 6 gadis Jepang itu memang kimono khusus musim
dingin dan menjelang tahun baru nanti. “Warnanya sangat cermerlang dan mereka
akan menikmati banyak makanan tradisonal dan melewati banyak prosesi religi.”
Beti Karliati yang tak terlalu
lama segera bertolak ke Jepang bersama Kepala SMA Negeri 1 Sukabumi itu.
Mengaku secara bertahap belajar budaya dan keseharian orang Jerpang. “JIka saya
ke Jepang, sesuai disiplin ilmu saya
tekuni tentunya, yaitu lingkungan
hidup.” Ujarnya. [HS2SMI].-
0 komentar :
Posting Komentar