Minggu, 12 Januari 2014


                                                                      Oleh
                                                        Winni Siti Alawiah,SPd*
                                                                               guru GO Sukabumi

Sepotong roti  dan segelas air putih di atas meja, tak tersentuh. Tubuh pucat itu semakin melemah.  Anaknya berdatangan. Memenuhi ruangan bercat coklat penuh ornamen antik. Si bungsu di luar kamar penuh kegelisahan. Di sibukkan dengan telepon genggam yang melekat di telinganya.

“Arta, Yosi, Marwan, Aulia, Pitri, Putra, Ragil, As...”, suara parau itu terhenti.
“Ka Asmi belum datang bu, mungkin sebentar lagi”.


Suara tegas Arta sebagai sulung menenangkan. Kerutan di dahi pucat itu mulai mengusik. Hampir lima belas menit Asmi pergi dan dokter Bowo belum nampak. 


    Ragil membisikan sesuatu pada Arta. Ka Asmi tidak bisa dihubungi. Sementara kelegaan lain datang dari dokter Bowo. Pemeriksaan selama satu jam.
    “Tekanan darah normal. Hanya butuh banyak istirahat. Alangkah baiknya dirawat di rumah sakit”
    Sudah yang kesekian saran dokter Bowo itu tak diindahkan. Kemauan ibu yang keras tidak terbantakahan. Tetap tinggal di rumah meskipun hanya berbaring menjadi pilihan terbaiknya.

***
Hanya untuk sebuah pispot. Matahari yang tidak lagi bersahabat. Kebetulan yang tak berpihak. “Mengapa semua toko tutup hari ini?”. Hati Asmi mulai tidak menentu. Arah kaki mulai tidak terkendali lagi.
Menjadi anak ketiga adalah beban. Bukan karena tanggungan adik adiknya. Karna harta ibu yang masih berlimpah lebih dari cukup. Namun takdir yang ia bawa belum berlabuh jua. Terlangkahi oleh kelima adiknya.
Jalanan terang membawanya pada ingatan di kala senja.
“Ibu mau makan roti?”. Kepalanya mengangguk.
“Mau disuapi?”
Anggukan yang kedua kalinya.
“Asmi, kapan ibu bisa menimang cucu?”
“Sebentar lagi bu”
“Kalau tak sempat bagaimana?”
“Pasti sempat bu. Sebentar lagi ibu akan sehat”
Senyuman kecil tampak pedih. Harapan yang belum jua bisa dilakukan. Asmi menikah dan melahirkan anak. Punya keluarga, punya keluarga, punya keluarga. Seperti kata kutukan yang menghantui pikirannya setiap detik.


“Ibu, kaka, dan adik adik adalah keluarga Asmi. Itu cukup untuk sekarang”.
Ya Tuhan, pedihnya pernikahan. Untuk wanita yang lebih dari sekali di lewati adiknya. Itulah aku si Asmi bertakdir buruk. Berkali dilamar tak jua sesuai. Target yang terlampau tinggi. Membentengi kodrat sebagai wanita timur. Asmi Ranita Puspa, berusia kepala tidak, belum menikah. Label yang melekat padanya. Sulit diulang, masa-masa Linggar, Nanda hingga Rifky. Pria-pria mapan yang melamarnya. Namun harus pulang dengan penolakan.
Penolakan pedih pun pernah mengusik Arnandha. Seorang calon dokter. Teman sekelas Asmi ketika SMA. Hanya karena masa SMA-nya yang buram. Menutup hati Asmi untuk menerima lamarannya. Padahal ibunya sudah senang, bahkan mengatakan, “Calon dokter As. Jangan lihat masa lalu orang. Setiap manusia punya sisi buruk, mungkin sekarang sudah lebih baik.”
Dan dengan seulas senyum dan gelengan kepala. Asmi menyatakan penolakan itu. Dengan mengelus dada ibunya, Asmi kembali menegar. Terlanjur membatu hatinya.

***
Kesedihan teramat pilu. Kala seorang ibu harus menahan sakit. Menyambut sang pencabut ruh. Langit membendung banyak tangis. Sayatan kalbu setiap anak yang terus memanjat doa. Kesembuhan atau terbaik bagi ibundanya. Detik mempercepat helaan nafas yang semakin tersengal.
Ratapan menyahat hati. Arta merangkul keenam adiknya. Ibu terus di papah mengucapkan kalimat maha sempurna. Dunia bagai oleng. Matanya seolah siap menutup pandangan dunia. Menjelma si pelepas jiwa. Allah.
Tangisan penuhi harapan ke tujuh anak. Saling memegang tangan penuh cinta. Elusan kening tanda beribu cinta, untuk ibunda. Kembali bersyahdu. Bibir lembut nan suci lirih mengucap. Air tubuh sampai di ubun. Melepas hawa menuju barzah.
Semua pelukan untuk tubuh lunglai itu. Arta tergolek di atas kursi. Kasih jiwanya telah pergi. Adik-adiknya menjelma suara raungan menyayat. Air mata untuk kesucian abadi beriring doa untuk sang ibunda.
***

    Bagai dihantam godam. Tanpa sebab, kepalanya oleng. Asmi tersadar, langkah membawanya kembali ke jalan pulang. Menahan hentakan jantung yang tak berirama. Tangannya merogoh saku celana. Mengambil selembar surat yang sampai kemarin. Sepucuk puisi terangkai frasa indah.

Terangkai untuk Sang penyair hati…

Asmi,
Tiga tahun sudah aku mulai menata kembali hati. Yang pernah redup cahanya. Hampir layu ditinggal mentarinya. Penolakan itu bukan kiamat bagi diriku. Diriku yang terlanjur bertakdir denganmu. Lewat sepucuk pengantar ini, aku beranikan diri menyapamu kembali.

Tak ada kata dari penyair mana pun yang bisa mewakili. Ungkapan yang membuncah setiap namamu melintasi benak ini. Sungguh aku tak pandai merayu. Tak piawai melagu. Inilah pengakuan si lajang yang seribu delapan puluh hari tidur dengan impian.
Impian mempersuntingmu.

Izinkan aku silaturahmi ke rumahmu,
Membawa kepantasanku sebagai calon bapak. Seminggu kepulanganku ke Indonesia, aku siap mengucap ijab qobul atas nama cinta.

Yang masih menantimu,
Muhhamad Linggar Fauzi

Mata bulat itu berkaca, menangisi kebahagiaan. Asmi mematung dengan hati yang tak terwakilkan kata bahagia. Segera menata diri. Surat Linggar dilipatnya kembali. Dengan cepat menuju rumah.
“Ibu, ibu, ibu yang pertama harus tahu kabar bahagia ini”
“Ibu, Asmi akan duduk di pelaminan”
“Kenapa surat ini tidak kubaca ketika di samping ibu”
Semua itu akan segara baik. Senyuman terindah yang lama tak menghiasi wajah bulat Asmi. Dengan jutaan kelegaan hanya untuk ibu dan hidupnya. Gerimis merayu. Seakan ingin menghentikan langkah bahagia Asmi.
Bendera kuning tertancap pada pagar besi. Bagai kilat menghantam tubuhnya. Asmi terjatuh lemas. Air mata itu menyatu dengan buliran hujan. Basah membasahi harapan indah. Menyatu dan membaur dengan kepiluan. Tidakkah adil bagi dirinya. Calon pengantin tanpa iringan ibunda.


Rintihan menyayat. Arta merangkul Asmi yang sempoyongan. Menguatkan dengan ucapan suci. Nafas yang tersengal. Menyesak.


“Ibu, Asmi akan menikah, punya anak, ibu bisa menimang anak Asmi. ibuuuu”
Untuk pengantar ke pembaringan. Kecupan tersayang Asmi pada kening suci yang semakin pasi. Begitu lirih di samping telinga. Suara terdalam, “Bu, Asmi akan jadi pengantin. Linggar akan menjadi suami Asmi”. Hati itu berbunga untuk cinta buah hatinya.

0 komentar :

Posting Komentar