Sabtu, 09 Agustus 2014


Winni Siti Alawiah,SPd

Guru bimbel GO Sukabumi
 Senyum ‘Kakek Berpeci’


Tidak terpikir lagi bagi Widhy Siti Pahlawati  menyempatkan diri untuk sekedar menghibur diri dengan membenahi akun twitternya. Bahkan blognya pun hanya sebulan tiga kali ia tengok. Mungkin ini fase tersibuk bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di salah satu universitas negeri selama kuliah.

            Sudah tiga semester, Q’wied sapaan akrabnya menjalani hidup semi mandirinya di kota kembang ini. Sudah banyak intrik kehidupan yang membuatnya tersenyum, mengehela nafas, bahkan terharu sampai menitikkan air mata. 

            Di pertengahan semester empat ini, Q’wied bersama teman sekelasnya mengontrak matakuliah pagelaran. Matakuliah itu yang membuatnya semakin super sibuk. Tentu saja dengan profesi barunya sebagai pengajar bimbel, ia dituntut cerdik membagi waktu untuk latihan pagelaran dan tetap professional dengan pekerjaannya.

            “Oh tidak!!!, aku harus minta izin lagi pada Egi”, Q’wied menghela nafas pasrahnya. Dengan keadaan seperti ini, Q’wied hanya bisa pasrah dengan memilih kepentingan yang dianggapnya lebih utama.

            “Kenapa Wied?, kamu kan tahu sendiri pagelaran kita tinggal satu bulan lagi. Ya, meskipun kamu hanya berperan sebagai figuran bukan berarti kamu bisa izin tidak mengikuti latihan terus-menerus kan!!!”, dengan tegas Egi menjelaskan

            Q‘wied hanya bisa mengulum kata-katanya yang mulai bercampur emosi. Dengan sedikit terpaksa Q’wied menganggukkan kepalanya. “Ya Egi, aku ngerti”. Dengan berat hati Egi memberikan izin terakhir kepada Q’wied.

            “Kenapa harus kayak gini, aku benci mereka. Mereka ga ada yang ngerti keadaan aku”, keluh Q’wied sambil berjalan tergesa-gesa menuju kosannya untuk berganti pakaian. 

            “Oh tidak, udah setengah tiga aku belum shalat dzuhur”, sudah hampir sepekan Q’wied selalu telat melaksanakan kewajibannya sebagai muslim dan alasannya selalu karena kesibukan dan kelelahannya.

            Materi yang akan dibawanya belum ia print, terpaksa harus pergi ke warnet dekat mesjid sebelum ke tempat bimbelnya.

“Siang neng”, sapa seseorang dari balik pintu mesjid. Q’wied berbalik dan menjawab, “siang Kek”. Sambil tersenyum khas Kakek berpeci hitam dan berperawakan kurus, tinggi, dan putih itu memperhatikan langkah Q’wied. 

            Q’wied sudah tidak asing dengan Kakek berpeci itu. Hampir setiap lewat mesjid Kakek itu selalu berpapasan dengannya. Selalu tersenyum dan sedikit memperhatikan gerak-gerik Q’wied. Tetapi meski sudah selama dua tahun kos di daerah itu, Q’wied belum mengetahui namanya. Q’wied memanggilnya Kakek berpeci.
***
            “Baik semuanya sebelum pulang kita baca do’a dulu ya, supaya belajarnya diberkahi Allah dan ilmunya bermanfaat. Berdo’a mulai!”
            “Selesai, beri salam”, tukas Aldi, satu-satunya murid lelaki yang ada di bimbel itu.
            “Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh…!!!” serempak semua anak dengan semangat.
            “Alhamdulillah…”, Q’wied tersenyum sendiri menuju kosannya. Ya, selalu ada bingkisan kecil yang dibuat anak-anak itu untuk Q’wied. Senyuman yang tulus menghiasi wajah manisnya selepas mengajar bimbel. Mungkin karena ia sangat menyukai anak-anak menjadi salah satu faktornya.
            Baru saja beberapa detik merebahkan tubuhnya di tempat tidur, handphonenya sudah berdering beberapa kali. Empat pesan dari Egi, semuanya berisi jadwal latihan pagelaran besok sampai hari minggu tanpa libur. Oh… sungguh bukan hal yang diharapkan Q’wied. Tentu saja bukan karena malas, tapi karena hari jum’at dia harus memberikan try out pada anak-anak bimbelnya.
***
            Hari Kamis, latihan pagelaran mulai intensif dari pagi sampai sore. Lelah sudah menjadi bonus setiap pulang latihan. Tanpa diduga Egi sebagai sutradara pagelaran menambahkan adegan baru untuk Q’wied dan Merinda yang berperan sebagai dayang di dalam drama. Tidak tanggung-tanggup, empat penambahan adegan di dalam drama membuat Q’wied mau tidak mau harus semakin serius berlatih.

            “Semangat ya kawan-kawan, ingat pagelaran kita tinggal tiga minggu lagi”, teriak Egi menyemangati.
            “Hey Wied, do’a kita terkabul ya. Akhirnya kita bukan hanya jadi pemeran figuran tapi jadi pemeran kedua”,Tukas Merinda dengan senyum jailnya.

            “Oh iya ya, do’a kita terkabul”, tambah Q’wied sambil menggelengkan kepalanya. Memang sesuai dengan harapan dan do’a Q’wied dan Merinda yang sejak awal latihan. Bahwa mereka ingin tampil lama di atas panggung bukan hanya menjadi figuran saja.

            Tidak terasa jam tangan hitam di tangan kirinya menunjukkan pukul 17.00 WIB. Q’wied hampir saja melupakan shalat ashar. Dengan langkah seribunya, ia pergi menuju mushola kampus.
            “Huh, hampir aku lupa untuk shalat”, Q’wied menyandarkan badannya ke dinding. Pikirannya mulai melayang, di alam bawah sadarnya dia sedang berjalan sendiri entah di tempat apa. Banyak pepohonan yang rindang, di depannya ada jembatan dengan satu tali yang hampir putus. Ketika langkahnya semakin dekat dengan jembatan, seorang kakek menghampirinya dengan membawa sesuatu di tangan kanannya.

            “Maaf nak, Kakek menyebrang duluan”, pinta kakek itu
            “Tapi Kek, saya yang datang duluan. Saya juga ingin menyebrang”, cela Q’wied dengan tetap menahan volum suaranya.

            “Coba lihat disebrang hanya ada satu tempat tujuan. Apakah kamu yakin akan menyebrang dengan tangan kosong?”, tanya Kakek itu sambil memandang ke arah mesjid besar di seberang jembatan.

            Q’wied sesaat terdiam, lalu memerhatikan dirinya yang tak membawa apapun seperti kakek itu yang membawa sebuah sejadah. “Apakah aku harus membawa sesuatu untuk pergi ke sana?”, Q’wied bernalik bertanya pada Kakek itu.

            “Kau harus ingat tempat di sebrang sana adalah mesjid. Semua orang pasti tahu mesjid adalah tempat apa”, jelas Kakek itu dengan senyumannya.

            “Astagfirullahaladzim!!!”, Q’wied tersadar dari lamunannya. Q’weid begitu kaget dengan lamunannya itu, seperti nyata lebih tepatnya sebuah teguran. “Tapi apa maksudnya?”, Q’wied bertanya-tanya.
***
            Sekitar jam delapan  malam, setelah mempersiapkan soal-soal try out untuk besok Q’wied mulai teringat dengan sosok kakek dalam lamunannya tadi sore.
            “Ya!!! Itu kakek berpeci yang selalu berpapasan di mesjid”, Pikiran Q’wied mulai menerawang, pikirannya dipenuhi berbagai tebakan. Q’wied pun memutuskan untuk pergi ke mesjid itu untuk memastikan.

            “Cari siapa?”. Ibu berkerudung lebar berjalan dari samping mesjid.
            “Kakek yang sering ada di mesjid bu, yang selalu pakai peci putih”
            Sesaat tertegun, kening ibu tersebut berkerut. Lalu berbalik berjalan menuju ruangan di samping mesjid. Q’wied heran. Tidak sampai lima menit, ibu itu kembali dengan seorang bapak berbadan gempal.
            “Yuk masuk dulu. Kita ngombrol di dalam biar adem”. Bapak itu mengajak Q’wied ke dalm mesjid.
            “Teteh liat aki Supra?”, Suara ibu membuka percakapan.
            “Aki Supra? Siapa ya?”

            “Jadi begini, sebenarnya yang sering teteh temui di mesjid itu ciri-cirinya seperti aki Supra. Beliau dulunya marbon (penjaga mesjid) disini”
            “Dulu? Sekarang sudah tidak, Pak?”
            Bapak dan ibu itu saling berpandangan. Lalu tertunduk sebentar. Terdengar suara sedikit berbisik, mengucap “Subhanallah”.

            “Kalau boleh tahu, teteh ketemu aki kapan?”
            “Em, ada tiga kali kalau tidak salah. Malah pernah sampai kebawa mimpi pak”
            “Mimpi apa ya?”

            Q’wied menceritakan tentang mimpinya kepada mereka. Reaksi yang sama, bapak dan ibu itu menggeleng sembari mengucap subhanallah.
            Tidak terasa percakapan di dalam mesjid itu berlangsung hampir satu jam. Q’wied pamit dan berjalan pulang menuju kostannya. Setiap langkahnya terasa terlalu ringan, bahkan hampir membuatnya tidak sadar terbentur batu. Yang dipandanginya hanya sebuah sejadah berwarna hijau muda dengan bahan bludru yang lembut. 

            “Ini teh, titipan dari aki Supra”, pesan terakhir dari bapak tadi terus terngiang.
            “Apa ini. Siapa sebenarnya aki Supra itu? Lalu mengapa? Mengapa….?. Aku bertemu roh, arwah, hantu?”, sadar, Q’wied bergidik. Bulu kuduknya berdiri. Segera langkahnya dipercepat.
            Sampai di kostan, badannya langsung di jatuhkan ke tempat tidur. Adzan magrib dan saat shalat. Masih sedikit ragu untuk menggunakan sejadah itu. Tapi memang harus digunakan, karena sejadah miliknya masih tergantung dijemuran.

            “Allahuakbar Allahuakabar Allahuakbar!”, detak jantungnya berdetak kencang. Q’wied merasakan kesejukan yang tiada tara. Tak ada yang terlintas dalam benaknya selain sejadah dan perasaan tentram. 

            “Ya, aku paham sekarang”. Tanpa berpikir panjang dirinya mengambil note kecil di dalam tasnya. Dibuatnya beberapa kolom. Hal pertama yang diisi dalam kolom tersebut adalah jam shalat lima waktu. Sisanya adalah kegiatan latihan pagelaran dan mengajar bimbel.

            “Ya, ternyata aku bisa membaginya. Konsekuensinya, jika aku telat shalat maka waktu semakin sempit dan pikiran ku kacau. Akhirnya aku selalu mengorbankan salah satunya. Ternyata aku tidak sesibuk selebritis. Aku baru seorang mahasiswa. Aku tidak boleh kalah. Terima kasih aki Supra. Siapapun anda, Allah menegurku melaluimu”. Senyum tulus itu kini menghiasi lubuk hatinya yang mulai tentram.
***


0 komentar :

Posting Komentar