Sabtu, 05 April 2014

 Oleh Winni Siti Alawiah,SPd
                                                                 Guru bimbel go sukabumi
Bandung, 26 Agustus 2013
Tak banyak yang ingin disampaikan hati ini ketika hujan yang kesekian kali turun di kala senja. Bukan karena raga yang tak sanggup lagi melawan waktu yang tak urung mempertemukan aku dan dirinya yang mungkin tak menyimpan namaku lagi di beranda hatinya. Namun seulas senyum kini dapat hadir kala airmataku memaksa keluar meluapkan keinginan yang selalu mendapat penolakan dari akal ini.


“Aku mengawalinya di kala hujan turun,
hujan telah gantikan jawaban terindah untukmu kala itu,
kau bahkan menantinya hingga kala turun, bahagia itu seakan menyelimuti jarak antara aku dan kau,”

Sebait nyayian hati itu tak urung kukirimkan padamu, karena kau terlanjur tumpahkan noda hitam di sulaman yang telah kita rajut bersama. Kesakitan ini melebihi tangis akan kehilangan. Namun kau masih dengan egomu tak mengerti apa yang kurasakan ini.
Tiga buah file foto kita di handphoneku dan tiga belas sms kata kasih yang kau kirim padaku, “haruskah aku hapus itu semua?”
“sayangnya aku tak bisa sejahat itu pada apa yang indah bagiku”, gerutu pada hati.
Sempat ada satu kata yang ingin kusampaikan langsung sebelum kita berpisah pandang, “Aku makin sayang….”, aku wanita yang bermahkotakan budaya jadul yang mungkin tak akan kulepaskan. KAU TAHU ITU!!!!. Gengsi akan derajatku sebagai wanita timur ku jungjung. KAU TAHU ITU!!!. Semua seakan tak kuhiraukan, karena ku belajar untuk mencintai seseorang dengan cara yang umum seperti keinginanmu. Tentu itu tak mudah, KAU TAHU ITU!!!. Tapi diluar dugaanku, kau seolah menutup mata dan telinga, KAU TAHU ITU TAPI TAK INGIN MENCOBA BERTANYA PADAKU!!! KEKASIHMU!!!.
Ingat dengan rangkaian kata yang kususun dengan penuh rasa. Saat itu malam kering kita berbincang lewat kebisuan pesan. Kukirimkan dengan kehati-hatian.

Malam,
Teruntuk bermata teduh, bagiku….
Ada bingkisan yang kutitipkan
Dibalik bintang yang jauh,
Seukir senyum khasku untuknya,
Moga jadi iringan sejuk menuju tidurnya.

Tak satu katapun yang kuubah dari pesan yang kukirimkan malam itu. Aku bahkan begitu yakin, kau tidak mungkin masih menyimpan pesan itu. Berani bertaruh!!!
Satu lagi, satu lagi yang ingin kau kenang. Anggaplah ini permintaan terakhirku sebelum aku benar-benar melupakanmu. Ingat, kita pernah berjalan dengan gurau khasmu mengikuti lekuk indah Tangkuban Perahu. Sebagian memori notebookku masih berisi kenangan nyata itu. Aku bahkan tak sanggup untuk sedikitpun mengintip kembali. Tapi takkan pernah ku hapus, aku yakin akan itu.
Lalu, lalu, lalu hujan pula yang mengiringi kepergian kita dari tempat tinggi itu. Kita melawan basah bersama, kupikir akan selalu bersama kita melawannya. Nyatanya tak begitu, tapi bukan karena hujan karena ia hanya pertanda permulaan dan akhir dari jalinan itu.
Luangkan waktumu sedikit lagi, kumohon!!!. Ada yang masih ingin kusampaikan. Masih tentang kita, wanita dengan gengsinya dan pria bermata teduh. Pasti kau tahu benar siapa yang kusapa sebagai pria bermata teduh, ya…itu kau, kekasihku, lebih tepat ‘mantan kekasihku’, kepingan logamku yang hilang.
Tunggu, tunggu jangan dulu jemu akan kata-kataku yang mungkin memojokkanmu. Aku belum pada inti pesan yang ingin kusampaikan. Tapi perihal matamu tak dapat aku lewatkan. Matamu teduh, kala bertemu pandang aku merasakan sengatan aneh menjalar ke seluruh tubuh. Bukan indah yang mewakili akan keteduhan matamu tapi, rasaku yang semakin bertambah.
Mungkin itu biasa bagi para wanita yang menjalin kasih dengan kaum adam. Tapi ini berbeda….. aku merasakan rasa yang begitu kuat, semakin bertambah, dan begitu tenang mengalir bagai air. Itu hanya sesaat sebelum kau hentikan alirannya yang sedang deras.
Jika aku bunga mungkin aku gugurkan daunku saat itu. Karena kelopaknya telah dikoyak tak bersisa oleh durimu. Dan kau tahu aku membingkai lukaku dengan sebuah syair kelam.
Senduku tak terwakili gambaran alam,
Keperihan akan luka tak juga menyamainya,
Sesaat mungkin kan terlupa, tapi nyatanya begitu lama,
Bagai kayu dilaut yang timbul tenggelam,
Aku bahkan tak dapat menahannya kala harus timbul,
Begitu juga kala tenggelam aku bagai lupa segala,

Sumpahku pada denyut nadi yang mengiri
Akan langkah yang kan ditempuh,
Bagai torehan catatan hitam seorang hawa yang seakan menentang takdir
Takdir yang sedang menunggu di luar pintunya,
Tanpa kutanyakan hati untuk ketiga kalinya,
Akal ini menyatakannya lewat lisan, “aku tak ingin menjalin kasih dan
Berbagi rasa untuk hati pada pria manapun hingga status sebagai mahasiswi telah kulewati”
Banyak tak percaya dan menyangkal, mereka, kawanku
Semua tak inginkan itu padaku, tapi itulah aku
Wanita yang berdiri dengan gengsi hawa dimasa lalu.

Kau heran, mengapa syair kelam itu tak kuberikan?. Tentu bodoh bagiku jika pesan ini kau baca setelah kau nyatakan perpisahan. Akan terlihat seperti apa diriku saat itu. Cukup syair itu kau baca sekarang setelah semuanya tak akan pernah bisa berubah sama, atau lebih baik.
Maaf atas kelancangan ini. Anggap ini hanya fiksi yang tak pernah kau alami, ya hanya fiksi bagimu…..aku pun akan mencobanya. Masih ingin kuhantarkan salam pada kedua orang tuamu, masihkah ayahmu mengingatku. Yang datang kala hujan dengan sedikit makanan untuknya yang sedang bermalam dirumah sakit.
Dan tentu aku ingat betul perbincangan antara aku dan ayahmu yang begitu ramah dengan sedikit gurauannya. Kala itu telah kubuat rencana untuk menemuinya kembali berbagi, untuk sekedar menyambung cerita yang sempat terpotong.
Rencana itu pun kini hanya menjadi daftar agenda lama yang tak semput kulakukan. Menyesal mungkin, tapi memang harus begini. Jalan hidup tak selalu lurus, ada kala berkelok bahkan lebih jauh. Aku kenang semua tentang kita sebagai kelokkan kecil dijalan hidupku.
Lentera yang pernah kau jaga nyala apinya.

0 komentar :

Posting Komentar