Senin, 09 Desember 2013



Sukabumi,

GELAR BUDAYA kelangan siswa dari Sukabumi dan Jepang, bagian tak terpisahkan jelang perpisahan dalam study tour dua hari semalam itu ada Jaipongan dengan 5 penarinya dan seni tradisional lainnya Angklung. Siswa/wi Jepang juga membalasnya tapi kurang atraktif.
                Awalnya 6 siswa SMA Oisca Hamamatsu, Jepang itu datang keruangan dengan seragam sekolah mereka. Tapi dalam waktu 10 menit mereka kembali tapi sudah berpenampilan beda. 6 Gadis Jepang itu berbalut Kimono, tapi tak terkesan feminism seperti kain kebayanya Sunda.

                Ada gadis sedikit gemuk, dia masuk GOR SMA tertua itu dengan gagahnya. Nilai feminimnya mojang Priangan sama sekali tak nampak, malah jika dibandingkan  ibarat langit dan bumi. Gadis berkimono musim dingin itu lebih mirip atlet sumo. Juga kelima gadis lainnya.

                Seorang guru olahraga yang duduk sebelah tapi enggan ditulis jatididirinya itu berbisik. “Mungkin mereka belum banyak tahu tentang etika berkimono. Beda jauh dengan anak-anak Kita meski berpenampilan modern, tapi etika berjalan dengan kain dan kebayanya harmonis.”

                Terlepas dari itu semuanya menurut Beti Karliati alumni IPB Bogor pembimbing siswa dalam program study tour dan Homestay  itu menuturkan, Jepang memang mudah dipengaruhi  budaya luar. “Jika tak terpaksa tak bicara Inggris, mereka kuat berpegang pada akar budayanya.”

                Kalau disimak lanjut Beti Karliati, Kimono yang dikenakan 6 gadis Jepang itu memang kimono khusus musim dingin dan menjelang tahun baru nanti. “Warnanya sangat cermerlang dan mereka akan menikmati banyak makanan tradisonal dan melewati banyak prosesi religi.”

                Beti Karliati yang tak terlalu lama segera bertolak ke Jepang bersama Kepala SMA Negeri 1 Sukabumi itu. Mengaku secara bertahap belajar budaya dan keseharian orang Jerpang. “JIka saya ke Jepang,  sesuai disiplin ilmu saya tekuni  tentunya, yaitu lingkungan hidup.” Ujarnya. [HS2SMI].-

0 komentar :

Posting Komentar