Senin, 31 Maret 2014

Oleh Winni Siti Alawiah,SPd
guru bimbel go sukabumi

Diskusi hari ini di tutup dengan sebuah wejangan senior. “Peka dan bergeraklah selama itu benar dan bisa diperjuangkan!”. Sungguh penuh semangat. Terutama bagi mahasiswa tingkat akhir seperti Rekas.
Lelaki yang berproses menuju dewasa. Dengan perawakan jangkung kecilnya. Pangkat sekjen (sekertaris jendral) sebuah unit kemahasiswaan yang bergiat di bidang politik. Kepiawaian merangkai kata-kata, andalannya. Hampir sempurna membentuk sosok mahasiswa militan yang berjiwa sosial.
Sudah berlalu tiga tahun. Situasi mencekam yang hampir mendepaknya dari kampus. Persoalan parkir berbayar yang kini belum dapat di wujudkan. Sungguh miris, jika parkir saja di sebuah kampus berlabel ‘negeri’ harus berbayar. Hitungan jam dan portal otomatis buatan luar negeri sudah di gadang-gadang dapat menertibkan lalu lintas kendaraan kampus. Nyatanya, sangat tidak diharapkan oleh mahasiswa. Rekas pun bereaksi, konsolidasi, rapat besar, hingga pencarian data secara terselubung di lakukan. Demi mewujudkan ‘demokrasi dan keadilan’.
Pada puncaknya, semua tergerak mewakili semua fakultas. Membawa aksi hingga ke rektorat. Berdiskusi namun nihil akan mufakat. Hingga, penyabotasean terjadi. Penyebaran pamflet mengatasnamakan UKM, ditanggungjawabi Rekas sebagai sekjen. Lantang menuliskan “Segala bentuk kehilangan (kendaraan dan helm) di tanggung sekjen”. Lengkap disertai nomor kontak Rekas.
Hari itu menjadi amat rumit, banyak pesan masuk ke telepon genggamnya. Kekhawatiran tak hanya menyelimuti Rekas dan kawan-kawannya, terlebih melibatkan keluarganya. Ibunya yang tidak sengaja membaca pesan berupa ancaman. Pandangan yang semakin menyudutkannya. Keputusan pun diambil. Rekas diasingkan keluar kampus untuk beberapa hari. Dengan pengawasan senior berpengalaman.
Sementara yang lain mencari tahu pelaku, Rekas mulai bangkit. Ternyata ada penyusup saat konsolidasi. Dengan bayaran dua juta saja, seorang berubah menjadi pengkhianat. Meskipun tak sepenuhnya sesuai harapan. Pada akhirnya parkir berbayar tidak berjalan sesuai keinginan birokrat.
Itu tiga tahun yang lalu. Namun besar berpengaruh bagi Rekas Nugraha. Mahasiswa pendidikan bahasa yang telah banyak menyuarakan opininya di berbagai media massa.
“Selama menjadi mahasiswa, harus bisa berkarya, dan membantu mahasiswa lain yang membutuhkan pertolongan!”. Itu yang selalu diucapkan dan membangkitkan semangatnya.
Baru saja diskusi hari ini selesai. Seorang lelaki berjas biru dongker dengan wajah tertekuk menghampirinya.
“Wah, ini benar-benar pelik! Memalukan!”
“Ada apa Gih? Ceritakan, jangan mencerca sendiri!”
Dengan nada penuh kesal. Panggih menceritakan kronologinya. Pergi ke mesjid kampus seperti kebiasaannya untuk menuntaskan kewajiban religiusnya. Meninggalkan petaka. Sepatu baru yang di simpannya di loker penyimpanan hilang. Mencari tahu hingga ke ruang pemantau, melihat gambar di cctv. Ternyata, telah terjadi kejahatan yang terindikasi oleh orang dalam.
Ada menit yang hilang dari gambar cctv. Menit hilang yang bisa menunjukkan siapa pelaku pencurian sepatu itu. Pihak terkait mengelak telah terjadi pencurian yang dilakukan oleh orang dalam. Penolakan demi penolakan seolah menjadi pembelaan tak terbantahkan. Tanpa dukungan, Panggih mundur sejenak mencari alternatif pemecahan dan bantuan.
“Ini perlu penanganan serius. Tidak bisa dianggap sepele. Bukan karena aku kehilangan sepatu baru, tapi bentuk kehilangan itu yang sudah berulang kali menimpa mahasiswa!”
“Ya, ini perlu ditindaklanjuti!”, anggukan Rekas begitu pasti dan tegas.
Malam itu juga Rekas membuat jaringan pencari data. Dan memang kemarin tidak ada satu pun penjaga yang bertugas di loker penyimpanan. Tapi tentang kehilangan yang sering terjadi benar adanya. Beberapa orang itu adalah teman Rekas sendiri.
Kehilangan komputer jinjing, sepatu, sandal, hingga payung. Cukup membuat geram. Saran Rekas untuk membuat surat pembaca. Menuangkan keluhan agar mendapat tindak lanjut yang serius dari pihak kampus. Panggih tanpa ragu menuangkannya dalam surat pembaca yang dikirmnya ke koran kampus.
Surat pembaca itu berhasil menjadi umpan. Panggih ditemani Rekas di panggil menghadap kepala keamanan. Kantor pusat keamanan seketika menjadi kantor kepolisisan. Dengan terdakwa pelapor yang seharusnya mendapat tindak lanjut tentang kasusnya.
Stand up comedy berdurasi tiga puluh lima menit. Panggih di kecam dengan tudingan membuat pernyataan yang tidak benar dalam surat pembaca. Penggalan pernyataan tertulis Panggih yang mendasari kecaman itu ‘Kehilangan yang sudah beberapa kali terjadi menimpa mahasiswa. Mulai dari kehilangan sepatu, sandal, komputer jinjing, payung, hingga kendaraan. Seolah hanya menjadi sentilan kecil yang kurang dihiraukan. Semestinya tempat ibadah menjamin kemanan semua orang yang akan beribadah. Bukan sebaliknya, kekhawatiran akan kehilangan barang-barangnya’.
Garis bawah untuk kata ‘kendaraan’ memacu kecaman kepala keamanan. “Seharusnya sebagai mahasiswa bisa lebih cermat menuangkan kata-kata. Setahu saya dan semua pihak keamanan, belum pernah ada laporan kehilangan kendaraan. Kalau yakin ada, coba tolong perlihatkan buktinya!”.
Panggih tersudut. Bukan karena pernyataannya salah dan bohong. Namun bukti yang dapat menunjukkan kehilangan kendaraan itu tidak bisa diperlihatkannya. Rekas berusaha menengahi dengan mengembalikan arah pembicaraan pada titik awal. Keluhan Panggih tentang kehilangan sepatunya. Tidak ada solusi atau sekedar permohonan maaf. Panggih meninggalkan kantor keamanan dengan perasaan takut akan kecaman ketua DKM dan ketua keamanan kampus.
Rekas terus menguatkan dengan berbagai pandangannya. Semua ini hanya persoalan ‘pencitraan’. Tidak ada pihak kampus yang ingin tercoreng setitik noda pun. Meskipun pada persoalan ini, Panggih memang tidak bisa sepenuhnya di benarkan. Kecerobohannya menuangkan beberapa persoalan dalam satu momen. Seharusnya persoalan kehilangan kendaraan yang dialami alumni tidak dulu di munculkan.
Hebat, selang dua hari Panggih menerima surat peringatan. Perlakuan macam apa ini. Rekas menggeleng setelah membaca surat peringatan itu. “Bukankah surat pembaca biasa dibuat untuk sebuah keluhan. Justru dengan keluhan itu, pihak yang dikeluhkan mendapat perhatian dan bisa memperbaiki kinerjanya”. Baru saja kemarin tetangga Rekas yang membuat surat pembaca di sebuah surat kabar nasional. Keluhan tentang kutu pada beras yang dibelinya di sebuah supermarket. Hari itu juga pihak supermarket mengirimkan beras baru sebagai ganti rugi pada pelanggannya.
Sepertinya hal itu tidak berlaku di lingkungan pendidikan yang telah komersil ini. Terlalu ‘jaim’ sepertinya untuk mengakui kelalaian. Terlalu ‘sepele’ untuk mengganti rugi kehilangan yang tidak seberapa.
Rekas dibantu teman-temannya dari BEM mencoba menangani kasus yang sedang dihadapi Panggih.
“Waspada ya Gih. Kita harus lebih cermat melihat peluang dan kondisi. Jangan biarkan tamparan kecil ini menyingkirkanmu”
Kemelut di ranah pendidikan komersil ini seolah tak pernah surut. Belum selesai persoalan Panggih. Gedung terhormat di penuhi mahasiswa yang melakukan aksi penolakan dan solidaritas. Muhammad Sahroni, mahasiswa ekonomi terancam di drop out. Alasan yang seolah dibuat terencana. Sahroni belum membayar setengah uang pembangunan. Penangguhan membuatnya terbebas sementara. Lucunya tak ada pmberitahuan atau sekedar peringatan, untuk mengingatkan Sahroni tenggang waktu pembayaran.
Bukankah dengan adanya peringatan sebelumnya, Sahroni memiliki waktu untuk mengumpulkan uang. Melunasi uang pembangunan. Terbebas dari drop out. Apakah ini sebuah kelalaian pihak administrasi yang tidak peka. Terlalu menyepelekan jumlah uang yang sebenarnya begitu besar bagi seorang mahasiswa daerah seperti Sahroni.
Rekas sigap dan segera menemui rektorat kemahasiswaan untuk melakukan lobi dan diskusi. Banyak hal yang dibawa sebagai data dan bukti. Hari itu dia dan kawan-kawannya sedikit beruntung. Salah seorang dosen di bagian humas, mantan mahasiswa yang dulu aktif bergiat di bidang sosial dan kemahasiswaan membantu. Melancarkan proses lobi. Menemukan titik temu yang berpihak pada Sahroni. Sebuah label bergengsi ‘kebijakan’ turun. Memberikan kelonggaran waktu pembayaran sisa uang pembangunan dan drop out pun tak akan terjadi.
Sedekiti udara segar. Kembalinya Sahroni di kampus, menyunggingksn senyum pada wajah Rekas. Kini dirinya masih bertanggungjawab atas masalah Panggih. Pecitraan yang semakin kental akan perebutan kekuasaan. Hari senin yang begitu panas itu, membawa berita hebat. Sebuah opini di koran nasional terbit. Tulisan seorang bertahta dengan judul, Loyalitas Finansial bagi Mahasiswa.
Wow. Kata yang sulit menjabarkan perasaan Rekas saat itu. Sementara di kolom yang sama dalam koran lokal seolah menabuh genderang. Hak Bicara Mahasiswa, Bukan di Orde Baru. Inikah manipulasi keadaan para petinggi di ranah pendidikan itu?.


0 komentar :

Posting Komentar