Minggu, 23 Maret 2014

Oleh Winni Siti Alawiah
Guru Bimbel GO Sukabumi

“Cut!”
“Ganti adegan”
“Cut, cut. Bukan yang itu!”
“Sudah-sudah. Pending sampai kalian hafal skrip!”
Nada bicara yang meninggi. Sudah tak terbantahkan lagi perintahnya. Menggeser-geserkan topi jamurnya. Pertanda kenyamanannya sudah terusik.
“Gimana dong. Kalau dipending terus. Apa mungkin semua pemain bisa latihan maksimal. Karna waktunya tinggal dua hari lagi. Atau, kita ganti skrip dengan percakapan yang lebih singkat?”
“Tidak bisa begitu dong! Skrip tetap harus utuh. Pemain yang harus cerdas menyiasati”, satu alisnya terangkat.
“Em, ok baiklah”,satu tangannya memegangi kepala. Lalu menggeleng.
Memang sulit situasi yang dihadapi para pemain teater ini. Tinggal dua hari lagi pementasan akan dilakukan. Acara akbar yang terlalu mendadak untuk tidak diindahkan.
Lagi-lagi kesalahan terjadi. Ini baru adegan satu dari tujuh adegan dalam cerita. Idealisme seorang YSA alias Yudi Sofyan Anwar memlambat latihan. Sutradara dengan talenta yang unik membuat banyak dikenal orang dikalangan teater.
Dan lusa tepat pada perayaan seabad kota Sukabumi, talentanya dipertaruhkan. Sebuah pertunjukan singkat nan apik, pedas, namun santai selalu menjadi ciri khasnya.
Kini sebuah naskah tak populer diangkatnya. Sedikit aransemen pada percakapan tokoh utama wanita dan anaknya. Fokusnya tetap, apa yang harus tersampaikan pada penonton. Natural dan menyentuh.
“Belum! Cut!”
“Harus gimana sih? Ini udah puluhan kali adegan aku di cut terus. Kapan majunya?”
“Mau maju? Temukan arah hati Mayunda!”, tatapan mata Yudi menajam. Singkat namun dalam. Membuat Mona yang berperan sebagai tokoh Mayunda merasa begitu aneh, bingung, dan penasaran.
“Arah hati? Apa maksudnya? Baiklah. Jangan panggil aku Mona kalau aku tidak bisa menemukan arah hati Mayunda”.
Mona berjalan menuju meja bundar di samping kanan panggung latihan. Sebuah skrip setebal 89 halaman diambilnya. Dengan sedikit kesal, ia mulai membukanya.
“Bisakah aku dapatkan arah hati Mayunda disini? heh”, helaan nafas yang singkat. Dengan waktu yang singkat dirinya mencoba membaca-baca naskah hingga selesai. Waktu berlalu begitu cepat. Namun kerutan di keningnya menandakan, bahwa dia belum menemukan arah hati Mayunda itu.
“Hah, apa-apaan ini! Aku tidak mungkin kalah. Apa maksud dari arah hati Mayunda?”
Di kedua setelah judul, terdapat lembar pendeskripsian singkat setiap tokoh. Matanya tertuju lama pada deskripsi tokoh Mayunda.
Mayunda:
Wanita muda berusia 22 tahun. Memiliki sifat seperti bunga. Tawanya untuk pereda, diamnya untuk penghargaan pada adat ketimuran.
“Adat ketimuran?”, kedua alisnya hampir menyatu. Matanya memicing. Benaknya menjelajah.
Seketika pencarian di dunia maya dengan kata kunci ‘adat ketimuran’ dicarinya. Beberapa artikel dibaca berulang-ulang. Hingga salah satu wacana mengunci pandangannya. Tak lama, sebuah senyum terkulum muncul.
“Gengsi, berani, egois yang tinggi. Ya, aku mengerti itu”, beberapa kali mengangguk.
Malam itu pun Mona segera memberitahukan Yudi bahwa dia sudah menemukan arah hati Mayunda. Sejalan dengan semangatnya, Yudi segera mengajak seluruh pemain untuk melakukan latihan satu babak.
Adegan dengan bersetting taman kota, siang hari. Mona berjalan menuju ke kursi taman yang sudah diduduki seorang pria bercelana bahan dengan pentopel yang mengkilat.
“Lama menunggu?”, seulas senyum tersungging ke kanan. Matanya diedarkan ke segala arah.
“Ayo duduk dulu”
“Harus ya kita bicara di taman seramai ini?”, nada jenaka muncul seketika dari mulut Mona.
Pria yang duduk di kursi itu segera berdiri. Dan mengangguk cepat, mengajak Mayunda menuju keluar taman.
“Terima kasih”. Kini senyumnya mengembang ramah. Tatapan mata yang masih acuh.
“Kau bukan wanita sombong. Aku yakin itu. Tapi ada sesuatu dalam benakmu yang kau sembunyikan dari pandangan para pria. Betulkan?”
“Terlalu so tahu. Bukan disembunyikan tapi dikesampingkan. Supaya kamu terus berusaha membuatnya keluar natural.”
“Maksudmu?”
“Hanya ketulusanmu yang dapat mengundang sabar untuk menghadapinya. Karena yang kukesampingkan sangat hebat berkharisma. Kharisma bagi setiap wanita yang tetap bertahan dala adatnya”
“Aku sulit mencerna maksudmu sekarang. Tapi yang kupahami saat ini adalah egoismu bukanlah kesombongan semata”
“Ok. Cut!”, suara lantang nan pasti menghentikan percakapan Mayunda dan pria itu. Senyum nyata mengembang dari bibir Yudi. Matanya menatap lekat sosok Mona yang telah merasuk menjadi seorang Mayunda. Tokoh fiktif yang kini hidup dan berkata.
“Itu, itulah arah hati Mayunda. Beri tepuk tangan untuk Mona!”
Semua pemain dan para kru teater spontan bertepuk tangan. Sangat jarang seorang Yudi Sofyan Anwar memberikan pujian dan tepuk tangan pada pemain teater. Kecuali, pemain itu benar-benar berhasil menghayati perannya sebagai tokoh dalam cerita yang dipentaskan.
Mona pun tersenyum lega. Hati seketika diselubungi sengatan yang segera menjalar ke seluruh aliran darahnya. Seperti suntikan semangat. Dia semakin optimis, adegan kedua hingga akhir akan dilewatinya dengan tepat.
Setelah adegan pertama tuntas, Yudi menghampiri Mona.
“Bagaimana Mon? Apa yang kau tafsirkan dari sosok Mayunda?”
“Aku tidak bisa banyak berspekulasi. Karena yang baru aku pahami. Segala sumber ketidakpastian sikapnya hanya karena satu alasan”
“Apa itu?” Yudi semakin tertarik.
“Tembok yang menjulang tinggi dalam dirinya adalah adat wanita ketimuran yang masih dijunjungnya tinggi. Itulah sebabnya rasa egois dan mawas diri begitu lekat dalam setiap ucapannya”
“Tepat sekali. Kau berhasil menemukan arah hati Mayunda. Selamat Mon. Hidupkan Mayunda dalam pentas lusa”
Anggukan begitu pasti. Mona tak dapat lagi berkata-kata. Tangannya semakin erat memegang naskah.
Yudi dengan perlahan menuliskan sesuatu pada halaman kedua naskah.
23 Desember 2013
Pada Mona yang bersemayam dalam Mayunda;
Tantang apa yang bagimu sulit, karena semua tidak akan semudah yang dipikirkan akal. Adakalanya kau harus terpejam dan diam untuk memanggil Mayunda. Karena kekesalanmu adalah sepersen ego dalam hatinya.
YSA (Yudi Sofyan Anwar), dalam semesta yang ringan.

0 komentar :

Posting Komentar