Sabtu, 08 Maret 2014





Kala si merah mentereng, bumiku  condong

Kupu kupu tanpa sayap

bergontai di atas pelangi

ujung kemilau bagai ombak, bukan bening seperti air

bumiku merona bukan malu

      untuk sepucuk hati yang telah lelah

Jarinya bergetar. Tak sempat menyelesaikan bait tak berjudul. Masih menari diingatan. Sebuah prosesi penghantaran penuh duka.

“Sayang, cepat kembali kita akan mandikan Bimbo!”

Sedikit senyuman untuk itu. Kakinya melangkah dengan sisa semangat. Membasuh tubuh berbulu yang mencoklat.  Bulu-bulu halus tak luput dari sentuhannya.

“Kau beruntung sayang memiliki si bulu terhalus yang cantik”

Kembali senyuman mungil itu muncul ke permukaan. Tanpa satu kata pun. Memandikan Bimbo si bulu cantik sebagai penutup hari. Selalu berulang tanpa ada kebosanan.

Makan malam yang senyap. Canda yang lenyap beserta kebisuan. Suster Elien membuka percakapan antara mereka. Hanya anggukan dan seulas senyum dari si mungil. Hingga waktu ikut terlelap dalam keheningan, malam berlilin.

Hujan yang masih rintik rintik selama dua hari. Tak usai membasuh hati yang pedih. Laluna gadis mungil yang sendiri. Ditinggalkan orang terkasihnya. Suster Marnetta yang penuh cinta. Sentuhannya yang melekat pada Laluna bayi hingga seperempat abad.

Bayangan seakan nyata. Kala tubuh mungil di pangkuan. Bersama sentuhan lebut tangan penuh cinta. Hari-hari bagai denting jam, berganti cepat. Setiap Luna memeluk suster Marnetta senja selalu merebut waktunya. Suster  Marnetta bersiul bernyanyi riang,

twinkle, twinkle, little star
how i wonder what you are
up above the world so high
like a diamond in the sky
twinkle, twinkle, little star
how i wonder what you are

Sesekali tangan mungil itu menarik tangan suster Marnetta untuk dilingkarkan ke perutnya. Kehangatan yang begitu indah bagi Luna. Tidak akan pernah Luna bisa melewatkan saat-saat ini setu malampun. Pernah suatu ketika Luna kesal dengan salah seorang temannya. Kata-kata menyakitkan hati Luna, “K”

Whistle, whistle little bird

Isn't eating crumbs absurd

Try a ham and cheese on rye

And a piece of cherry pie

If those crumbs are all you want

Don't come in my restaurant

Try a ham and cheese on rye

And a piece of cherry pie

If those crumbs are all you want

Don't come in my restaurant



 Luna Luna is a small star

pretty pretty shine

Do not ever cry

there are much love for you 


Semakin lama suara nyanyian semakin nyata. Mulut mungil pun ikut menyanyi. Irama yang semakin melambat, menghilang. Arahnya ke luar pintu. Luna terbangun. Kembali nyanyian itu berdendang. Membawa langkah kecil semakin jauh dari tempat tidurnya. Langkahnya ringan.

Tersadar dirinya menghadang tembok besar. Memberhentikan langkahnya. Matanya menyebar ke segala arah. Ruangan gelap dikelilingi tembok besar tanpa jendela. “Dimana aku?”, tanya terbersit dalam pikirannya. Sungguh tak sedikitpun cahaya lampu meneranginya. Hanya beberapa kilatan sinar bulan yang tipis menyusup di sela-sela lubang udara.

Boneka putih terlepas dari tangan kecilnya. “Ayo kembali ke kamarmu sayang”, suara lembut itu tak asing lagi. Luna tersenyum dan menghampiri pemilik suara itu. Malam itu terasa singkat tanpa alunan lagu suster Marnetta.

Hari-hari yang begitu indah, belajar membaca di kelas dengan dinding berwarna-warni. Bernyanyi bersama suster Marnetta di taman rose yang mulai berbunga. Mengikuti suster Marnetta ke dapur untuk mencicipi semua masakan yang akan di sajikan untuk makan malam. Mengikuti langkah suster Marnetta diam-diam seperti detektif. Hingga terlelap di pangkuan suster tercintanya.

Hari yang berbeda. Seharusnya semua berkumpul dengan wajah ceria.

“Dimana suster Marnetta?”

Pandangan suster kepala sedikit aneh. Panggilan kasih itu membawa langkahnya menuju kamar suster Marnetta. Sosok yang dicarinya tak ada di pembaringan. Ada seseorang yang berdiri mematung menghadap jendela. Tubuh kurus itu dibalut gaun tidur putih berbahan sutra yang tak asing baginya.

“Anda siapa? Kenapa berani memakai pakaian kesayangan suster Marnetta?”

Sunyi tak ada jawaban. Wanita itu sepertinya sudah sangat tua karna warna rambutnya yang putih tergerai. Luna perlahan mendekati. “Anda siapa?”, pertanyaan itu kembali terlontar, namun dengan nada yang lebih sopan.

“Kau pasti sangat mengenalku, sayang”,

“Suster….”, hanya suster Marnetta yang memanggil Luna dengan sapaan sayang. Tapi dia bukan suster Marnetta yang cantik, berbadan sehat, dan berambut coklat keemasan. Tubuhnya tegap tidak membungkuk seperti wanita itu.

Sosok itu membalikan tubuhnya. Wajah penuh kerutan senada dengan rambut putihnya. Mata hijau dan suaranya milik suster Marnetta. Itu tidak mungkin bagi Luna. Baru kemarin suster cantik itu bersamannya. Mengapa kini di hadapannya suster terlihat sangat tua. Pasti dia bukan suster Marnetta.

“Anda bukan suster!”

“Aku adalah suster Marnetta”

“Tidak mungkin! Wajahmu begitu tua, tubuhmu loyo seperti orang sakit, kerutan dan rambutmu membuatku takut.”, suara Luna terdengar parau, air mata membasahi pipinya yang bersih. Tangan ikut bergetar menahan rasa takut. Kakinya lemas tidak bisa dibawa berlari. Berlari jauh meninggalkan suster tua itu.

“Sayangku. Kau perlu tahu. Aku sudah tua. Sudah banyak waktumu yang terbuang sia-sia. Ulang tahunmu esok adalah kedua belas kalinya tanpa aku. Kembalilah bersinar seperti bintang. Sayangi suster yang sekarang merawatmu. Aku akan tetap melihatmu dari kejauhan”.

Seberkas cahaya terang tiba-tiba menyergap. Perlahan mata Luna terbuka. Ruangan asing. Di dominasi rak besar berisi buku. Sebuah meja kokoh dan sebuah kursi kerja. Seorang perempuan duduk menatapnya dari sofa di samping rak besar.

“Akhirnya. Selamat datang Luna”, suara merdu disertai senyuman dari perempuan itu.

Luna berdiri dan segera dibantu perempuan itu. Perempuan itu memapahnya. Memberikan luna segelas air putih. Dan tidak lama perempuan itu mengantarkan Luna menuju sebuah cermin besar.

“Hah! Inikah aku? aku Luna?”, dirinya masih tidak mengerti. Tubuh yang ada di cermin itu tinggi dan ramping. Rambut hitam yang sedikit bergelombang. Mata hijau yang masih bening. Bibir tipis yang masih mungil. Jemari yang panjang dan lentik.

“Ayo duduk”.

Dokter Arine. Perempuan itu adalah seorang ahli jiwa. Dialah yang berkeras hati untuk mengembalikan Luna pada dunia nyata. Luna telah sebelas tahun terbuai dalam dunia mimpi. Kecintaan akan suster Marnetta membawanya pada kegilaan. Hingga dirinya lupa akan pertumbuhan dan kematian suster Marnetta.


0 komentar :

Posting Komentar